RSS

CAHAYA DIATAS CAHAYA


"Nduk, Ibu senang kamu akrab dengan Amin. Abahmu juga setuju, karena dia santri. Jika kamu menyukai dia, mintalah dia lebih serius", pesan Bu Rahmah.

Mendengar penuturan ibunya, Sakina hanya bisa diam, membisu. Tak tahu, ia harus berkata apa tentang hubungannya dengan Amin selama ini. Keduanya memang teman karib sejak sama-sama mondok. Kini, mereka pun kuliah di universitas yang sama, hanya beda fakultas.

"Bagaimana caranya aku mengungkapkan rasa di hatiku ini? Tak mungkin kukatakan lebih dulu. Aku ini wanita. Tak punya kuasa untuk memilih. Aku hanya berhak menerima atau menolak. Namun, hingga kapan aku harus menunggu? Oh, Tuhan, tolonglah aku", pikir Sakina yang malam itu masih tidak bisa memejamkan mata.

***

Keesokan harinya, seperti biasa, Amin dan Sakina menikmati makan siang bersama di kafe kampus. Hanya saja, kali ini Sakina ditemani Fariha, teman sekelasnya.

"Kenalkan, ini teman saya, Fariha", ujar Sakina kepada Amin, orang yang sedari tadi mereka tunggu.

Ketiganya asyik menikmati nasi soto sambil mendiskusikan mata kuliah yang mereka pelajari. Fariha tidak seperti Sakina. Ia tipe wanita yang cepat beradaptasi, terbuka, humoris dan lekas akrab. Inilah barangkali yang menjadi alasan mengapa Sakina perlu memperkenalkannya kepada Amin agar ia bisa membantu menyampaikan isi hatinya kepada pria yang telah lama dicintainya.

Tapi ternyata, apa yang diinginkan Sakina, belum juga ia sampaikan, meski kepada Fariha, sahabatnya. Dia masih malu atau mungkin menunggu saat yang tepat.

Tanpa diduga, seminggu kemudian, Amin berkata kepada Sakina, "Entah kenapa, sejak pandangan pertama, aku seakan jatuh cinta kepada Fariha, sahabatmu. Maukah kamu menolongku untuk menyampaikan maksud hatiku ini kepadanya?".

Seperti mendengar petir di siang bolong, Sakina seakan tidak percaya, bahwa pria yang selama ini ia rindukan cintanya, justru berniat mencintai sahabatnya, Fariha.

"Kok diam sih, apa kamu sudah tidak setia kawan lagi ya dengan sahabatmu ini?", goda Amin kepada Sakina.

Sakina yang tadi tertunduk, kini mulai kuat mengangkat kepalanya. Ia berusaha tegar, meski hatinya tercabik-cabik. Amin tidak menyadari bahwa wanita di depannya itu sedang dilanda prahara cinta. Ada sebuah dilema yang sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata.

"Please, dong.... Bantu aku ya? Atau, aku tulis surat saja?", rengek Amin.

"Iya, insya Allah", jawab Sakinah, pendek.

"Nah, begitu dong. Ini baru namanya sahabat", kata Amin, kegirangan.

Selepas pertemuan itu, Sakina jarang mau diajak makan bersama di cafe. Ia masih berusaha menenangkan diri. Tiap kali bertemu Amin, ia selalu mendengar pertanyaan, "Gimana, apa sudah disampaikan?". Pertanyaan inilah yang membuat Sakina merana. Ia seakan dihadapkan pada buah simalakama.

***

Di tengah dinginnya malam, Sakina terduduk di tempat tidurnya. Seorang diri. Sementara itu, di luar jendela tampak rintik hujan mulai mengguyur bumi. Dalam sepi dan senyap, Sakina menengahkan tangannya.

"Ya Allah, bila Amin adalah jodohku yang terbaik, segera satukan aku dengannya dalam cinta. Bila ia bukan jodohku, tolonglah aku. Jodohkan aku dengannya dalam cinta yang suci dan terbaik menurut-Mu. Bukankah Engkau Maha Kuasa atas segalanya? Ampuni aku, bila aku meminta sesuatu yang seharusnya bukan hakku. Sebab, semua ini adalah milik-Mu".

Hanya munajat itu yang tersisa dari dalam sanubari Sakina. Harapannya yang lain mulai lenyap. Seakan ada tembok besar yang tiba-tiba menghadang langkahnya. Sebab, di atas meja komputernya saat ini, sedang tergeletak sebuah amplop berisi surat dari Amin untuk Fariha yang harus ia sampaikan.

Pada bagian luar amplop berwana merah muda itu, tertulis sebuah kalimat, "Untuk rembulanku, Fariha".

Tiap kedua mata Sakina menatap kalimat itu, hatinya seperti tersayat. Ia membayangkan, seharusnya dirinyalah yang menjadi rembulan itu, bukan sahabat karibnya. Tak kuasa menahan kepedihan, akhirnya, Sakina pun tertidur lelap.

Dalam mimpinya, Sakina melihat matahari, bulan dan bintang-bintang bertebaran di langit. Ia tidak tahu lagi, apakah saat itu siang atau malam?. Lalu, sayup-sayup ia mendengar suara, "Selama sang surya masih berputar pada porosnya, tenanglah".

Saat Sakina terbangun, ia tak segera bergegas ke kamar mandi. Gadis cantik itu masih berusaha mengerti maksud mimpinya. Adakah ini sebuah isyarat, atau sekedar bunga tidur yang lantas layu bersamaan dengan terbukanya kedua bola mata?

***

Pagi itu, hari tampak cerah. Sakina pun telah bersiap-siap berangkat ke kampus. Saat kakinya melangkah ke daun pintu, ia melihat di halaman rumahnya, telah berdiriseorang pria tampan yang selama ini ia cintainya.

"Mas Amin, kok tumben, ada apa?", tanya Sakina, sambil membuka pintu rumahnya.

"Iya, saya ingin menjemputmu dan berangkat bareng ke kampus", kata Amin.

"Bukannya saya menolak, Mas. Tapi, sudah biasa sih, berangkat sendiri", kata Sakina yang masih berpura-pura menolak, meski sebenarnya hatinya bersorak ria.

"Baiklah, saya tidak memaksa. Oiya, bagaimana dengan surat itu, apa sudah disampaikan?", tanya Amin.

"Silahkan masuk dulu!", ajak Sakina.

Tatkala Amin telah duduk di kursi teras rumah Sakina, sejurus kemudian, gadis berjilbab itu telah keluar lagi dari dalam rumah sambil membawa surat yang dimaksud.

"Oh, belum diberikan ya? Apa tidak sempat?", tanya Amin setelah mengetahui surat itu masih ada di tangan Sakina.

"Insya Allah, akan saya sampaikan hari ini. Tapi, sebelumnya, izinkan saya bertanya?", kata Sakina, seperti memberanikan diri.

"Mas, saya hanya ingin tahu, mengapa Fariha diserupakan dengan rembulan?"

"Yah..., wanita-wanita lainnya, yang bertebaran di langit, mereka adalah bintang-bintang. Biarkan mereka bersinar di angkasa raya. Akan tetapi, satu-satunya yang terdekat dengan saya, yang kelihatan terbesar, terindah dan paling bisa menerangi di malam hari, hanya satu orang. Dialah wanita pilihan, Fariha", jelas Amin, memaparkan argumennya.

Lalu, sambil menundukkan kepala, Sakina bertanya lagi, "Lalu, siapakah yang menjadi matahari, bila bintang dan rembulan telah ada? Bukankah sinar rembulan yang memancar di gelapnya malam dan juga kelap-kelip bintang, semua itu hanyalah percikan dari matahari yang terang benderang. Hanya saja, di saat malam, sang surya masih tenggelam di bawah kaki".

Tanpa sadar dan tanpa sengaja, bahkan seperti bercanda, Amin menjawab, "Mataharinya ya kamu itu, Sakina!".

Sontak Sakina terkejut. "Benarkah yang ia dengar barusan?" Amin pun demikian. Ia seperti terbawa arus hingga tak sadar menjawab dengan kalimat itu. Ia seperti lepas kendali dan tidak memahami, bahwa lisan yang tidak bertulang itu, bisa saja mengubah segalanya.

"Mas, bisakah diulangi lagi, siapakah matahari itu?", tanya Sakina, memberanikan diri. Tekadnya telah bulat. Rasa malu yang selama ini melilit tubuhnya, sudah lenyap begitu saja. "Nasi telah menjadi bubur", pikir Sakina. "Now or Never?" Cuma sekarang ia memiliki kesempatan untuk bertanya, atau tidak sama sekali dan akan menyesal untuk selama-lamanya.

Dengan suara terbatah, Amin menjawab:

"Bagaimana mungkin aku bisa mengulanginya lagi, bila sang surya berada tepat di depan mataku. Aku seperti orang buta, mataku benar-benar silau sehingga gadis yang pada hakikatnya selama ini terang benderang, justru tak terlihat seperti tertelan bumi".

Sakina menangis. Ia tak kuasa mendengarnya. Lalu, ia berkata:

"Bagaimana mungkin aku yang wanita dan lemah ini bisa menyatakan rasa dalam hati, bila Mas Amin adalah langit yang berada jauh nun di atas sana, di atas matahari dan tata surya lainnya?!".

"Jadi, selama ini, sampeyan juga mencintai saya?", tanya Amin.

Sakina hanya diam seribu bahasa. Di kedua pelupuk matanya, masih terlihat air mata berkaca-kaca.

"Jujur, sudah lama aku mencintaimu, wahai matahariku. Tapi, aku ini santri yang tak pernah sekalipun menyatakan cinta kepada wanita. Apalagi, cinta itu harus kusampaikan kepada sahabat terbaik dalam hidupku. Sehingga, selama ini, aku hanya bisa khawatir, bila cinta itu terucap, justru malah menjauhkan kita. Maafkan aku", kata Amin.

"Aku pun demikian. Maafkan aku", jawab Sakina.

Ada kehangatan dan bahkan kehidupan dari pancaran sinar matahari. Cahayanya begitu putih dan suci, menerangi segalanya. Ia begitu dekat hingga tak jarang dilupakan. Ia sangat menyilaukan hingga sering tak bisa dipandang. Kasih sayangnya cukup besar, memberi tanpa pamrih hingga tak mudah diingat dan sulit dimengerti.

Matahari itu adalah wanita sekaligus sahabat di atas sahabat. “Nurun ‘Alan Nuur”, Cahaya Di Atas Cahaya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

“KAMI INGIN MERINGANKAN TANGGUNGANMU”

R
asulullah Muhammad saw. lahir dalam keadaan yatim. Selang dua tahun beliau ditinggal wafat ibunya. Kemudian beliau diasuh Abdul Muthalib, kakek beliau yang seorang pemimpin Quraisy dan pengurus Ka’bah sekaligus sumur zamzam. Dua tahun kemudian kakek yang sangat menyayangi beliau juga meninggal dunia. Sebelum wafat, sang kakek berwasiat kepada salah satu anaknya, Abdul Manaf alias Abu Thalib untuk mengasuh Muhammad kecil.
Abu Thalib dipilih untuk merawat Rasulullah saw. bukan tanpa alas an. Padahal, ia bukanlah orang paling kaya di antara paman Nabi. Yang paling kaya : Al Abbas. Yang paling tua : Al Harits. Abdul Muthalib menunjuk ayah Ali bin Abu Thalib karena sikap kewibawaan di hadapan orang Quraisy dan rasa sayangnya terhadap Abdullah (ayah Nabi saw.). Ia merasa iba dengan keadaan putra satu-satunya adiknya itu.

Selalu Dilindungi
Kondisi ekonomi Abu Thalib serba kekurangan. Ia memiliki banyak anak, diantaranya Ali bin Abi Thalib rs. Saking cintanya, Abu Thalib terkesan lebih mengutamakan Muhammad saw. dibanding anak-anaknya sendiri. Hal yang sama dilakukan Abdul Muthalib. Agaknya Abu Thalib meneruskan gaya pengasuhan ayahnya ketika menjada Nabi saw. Suatu saat Muhammad saw. yang masih balita hendak naik ke dipan kakeknya di dekat Ka’bah. Seketika itu, para paman Nabi saw. melarang beliau karena dipan itu ibarat singgasana bagi Abdul Muthalib. Abdul Muthalib berkata, “Biarkan saja anakku ini. Demi Allah, sesungguhnya ia akan memiliki kedudukan yang agung.” Kemudian Abdul Muthalib duduk bersama Muhammad saw. kecil sambil mengelus punggung Nabi saw.
            Demikian pula kasih sayang Abu Thalib. Ketika Nabi saw. masih berdakwah di Mekkah, Abu Thalib tetap melindungi Rasulullah saw. dari gangguan musyrikin Quraisy. Kendati tidak bersedia beriman, Abu Thalib tetap menyayangi Nabi saw.
            Pada tahun ke-10 kenabian, kaum musyrikin bersepakat untuk memboikot keluarga besar Nabi saw. Mereka tidak boleh diajak bicara, berjual beli, dan menikah selama 3 tahun. Orang-orang musyrik juga berusaha membunuh Nabi saw.
            Karena itu Abu Thalib dan keluarga besar Bani Hasyim, yang mukmin maupun tidak – kecuali Abu Lahab- tetap membela Nabi saw. Abu Thalib selalu mengkhawatirkan keadaan Nabi saw. Jika semua orang sudah berbaring di tempat tidurnya, Abu Thalib menyuruh Nabi saw. untuk tidur di tempatnya agar ia bisa tahu jikalau ada orang yang menyerang Nabi saw. Atau kadang ia menyuruh salah saorang anaknya untuk tidur di dekat Nabi saw. sambil tetap siaga.
            Sejatinya Nabi saw. selalu mengajak Abu Thalib untuk masuk Islam. Tapi Abu Thalib tetap menolak dengan alas an taat ajaran leluhur. Namun hingga akhir hayatnya ia tetap musyrik. Terkait ini, Allah swt berfirman, “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat member petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk” (QS. Al Qashash : 56).

Balas Budi
            Suatu saat Nabi saw. bermaksud mengasuh salah satu putra Abu Thalib. Setelah menikah dengan Khadijah dan punya kehidupan yang lebih baik, Nabi saw. ingin meringankan beban Abu Thalib. Ketika hendak mengasuh Ali, Nabi saw. berkata kepada salah satu pamannya yang lain, “Wahai Abbas, sesungguhnya saudaramu Abu Thalib punya banyak tanggungan dan kondisi masyarakat sedang sulit. Mari kita temui dia untuk meringankan bebannya. Aku ambil seorang anaknya dan engkau pun juga demikian.” Abbas menjawab, “Baiklah.”
            Lalu keduanya menemui Abu Thalib. Nabi saw. berkata, “Kami berdua ingin meringankan tanggunganmu.” Kemudian Nabi saw mengutarakan niat untuk mengasuh anak-anak Abu Thalib. “Jika kalian menyisakan Aqil (riwayat lain : dan juga Thalib) untukku, maka laksanakan apa yang kalian berdua inginkan.”
            Maka Nabi saw. memboyong Ali dan Abbas mengasuh Ja’far. Ali hidup bersama hingga masa kenabian. Ali termasuk pertama kali beriman (masuk Islam usia 10 tahun) dan bersama Nabi saw. dalam banyak medan jihad. Ia termasuk khalifah ke-4 Abu Bakar, Umar, Ustman. Pada 40 H, Ali wafat setelah ditikam seorang pemberontak yang menentang kepemimpinannya.
            Sedangkan Ja’far diasuh Abbas, masuk Islam dan kemudian hidup mandiri. Abbas termasuk paman Nabi saw. beriman dan sering mendampingi Nabi saw. dalam beberapa momen penting. Pun Ja’far demikian. Bahkan ia termasuk sahabat Nabi saw. yang ikut berhijrah ke Habasyah (Ethiopia) dan juga ke Madinah. Pada 8 H, Ja’far gugur pada Perang Mu’tah melawan pasukan Romawi. Semoga Allah swt. meridhai mereka.

(Al Falah Edisi Mei 2011 : 12)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

-LITTLE FAMZ-

Sahabat sejati
Kuat dan ikhlas menemani perjuanganmu menuju surga
Tak lekang oleh hambatan
Tak goyah oleh ancaman.

Seorang sahabat sejati adalah
Setia membantumu menaiki tebing sumbing kehidupan
Senantiasa bersamamu mengarungi luasnya samudera
Tak kan alpa menyebutmu dalam sujud khusyuknya.

-LF-

 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

_^ LITTLE ANGEL ^_

Pagi ini...
Kutatap hamparan langit biru-Mu,,bersama kicau burung dan hangat mentari-Mu...
Kuketuk pintu langit-Mu...
Berharap bidadari kecilku kan membukakannya untukku...
Mengulang kembali kisah-kisah lalu...
Kisah-kisah lugu nan lucu...
Bidadari kecilku.....
Keping-keping kenanganmu selalu mengisi hari-hariku...
Seperti pesanmu dahulu..."Always remember me,,everytime & everyday my luphly sizta"
Bidadari kecilku.....
Maafkan jika air mata ini selalu menetes ketika ku termangu dalam rindu akan hadirnya dirimu...
Istirahatlah dalam tidur panjangmu...
Jangan kau risau...
Namamu kan selalu ada dalam doa-doaku...
Tunggu aku,,hingga tiba waktuku bersamamu...
Luph You Little Angel_Q


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

MASIHKAH ENGKAU MENYAYANGI IBUMU?



Demi melihat anaknya yang terlahir hidup didunia, selama 9 bulan sudah ibu mengandung dan bersusah payah melahirkan dengan mengorbankan nyawa. Rasa sakit tak tertahankan saat melahirkan, dilawan dengan sekuat tenaga. Hingga bayi mungil itu lahir, sang ibu dengan kasih sayang merawat dan membersihkan kotoran yang ada. Di kala anaknya merasa sakit, ibu akan merasa sedih dan rela membiayai dokter demi anaknya sembuh kembali. Siang dan malam, sang ibu senantiasa mendoakan anaknya tanpa sepengetahuannya. Bagi ibu, apapun rela dilakukannya demi membuat anaknya bahagia.
            Betapa besar pengorbanan dan kasih sayang seorang ibu, hingga kasih sayangnya seolah tak dapat dibeli. Lantas, sebagai seorang anak, masihkah engkau menyayangi ibumu? Dan bagaimana sikapmu sebagai seorang anak dalam membalas segala kebaikan dan kasih sayang ibumu?
            Dari Abu Hurairah ra. Beliau berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?” Rasulullah SAW menjawab, “Ibumu!” Dan orang tersebut kembali bertanya, “Kemudian siapa lagi?” Nabi SAW menjawab, “Ibumu!” Lantas orang tersebut bertanya kembali, “Kemudian siapa lagi?” Beliau menjawab, “Ibumu!”. “Kemudian siapa lagi?” tanya orang itu kembali. Lalu Rasulullah SAW menjawab, “Kemudian ayahmu”. (HR. Bukhari no.5971 dan Muslim no.2548).
            Berdasarkan hadist tersebut, kata ibu diucapkan oleh Rasulullah SAW sebanyak 3 kali. Sehingga jelas, bahwa seorang anak harus berbakti terhadap ibunya. Islam juga mengajarkan untuk tidak mengucapkan kata “ah”, dan selalu berkata baik kepada kedua orang tuanya. Bahkan, ada hadist yang menyatakan bahwa surga itu terletak di bawah kedua kaki ibu, yang menunjukkan bahwa betapa pentingnya peran seorang ibu.
            Dalam sebuah kisah, saat ibunya meninggal, Iyas bin Mu’awiyah menangis. Orang yang mengetahui hal tersebut bertanya kepada beliau. “Mengapa Anda menangis?” Lalu Ilyas bin Mu’awiyah menjawab, “Dahulu akau memiliki dua pintu yang terbuka untuk menuju surga, namun kini salah satunya telah terkunci”. Lihatlah, betapa sedinya Iyas bin Mu’awiyah saat ibunya meninggal dunia.
            Lalu, bagaimana dengan engkau, bila sang ibu meninggal dunia? Sungguh tak terbayangkan betapa menyesalnya saat itu. Seberapa banyak engkau telah membantah dan tidak mematuhi perintah ibumu? Seberapa banyak engkau telah membuat ibumu sedih hingga air matanya berlinang? Jika engkau masih sayang terhadap ibumu, maka segeralah redakan tangisannya.
            Sebagaimana Rasulullah SAW memberi nasihat kepada salah seorang yang datang kepadanya. “Seseorang datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, “Aku akan berbai’at kepadamu untuk berhijrah, dan aku tinggalkan kedua orangtuaku dalam keadaan menangis.” Rasulullah SAW bersabda, “Kembalilah kepada kedua orangtuamu dan buatlah keduanya tertawa sebagaimana engkau telah membuat keduanya menangis..” (HR. Imam Abu Dawud dan An-Nasa’i).
            Lantas, apa lagi yang ditunggu? Segeralah berbuat baik kepada ibumu. Karena sesungguhnya, meskipun engkau telah mengerahkan seluruh daya upaya untuk berbakti kepadanya. Niscaya itu belum mampu membayar kasih sayang dan kebaikan ibu saat merawat dan mendidikmu.
            Maka, perlakukanlah dengan kasih sayang dan segeralah meminta maaf jika engkau pernah mengucapkan kata-kata yang kasar dan bersikap buruk terhadap ibumu. Karena bisa jadi engkau tak akan lama lagi dapat melihat wajah mereka. Raga ibumu seolah tak sekuat dulu dan tak ada yang mengetahui sampai kapan maut akan menghampirinya.
            Dan bila ibumu telah berada diakhirat, maka berdoalah untuknya dan jadilah anak yang baik. Karena doa anak yang soleh dan solehah merupakan salah satu amal baik baginya yang tak pernah terputus.
(Yatim, Edisi Desember 2012 : 7)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

MAKSIMALKAN SISA WAKTU DENGAN PAHALA



Masih teringat dalam bayangan kita saat masih kecil, hingga tanpa terasa kita sudah menjadi dewasa. Dan saat kita mulai merayakan ulang tahun, pernahkah terpikir bahwa umur kita semakin pendek? Pada hakikatnya, waktu merupakan salah satu karunia Allah SWT bagi manusia, karena waktu merupakan hal yang paling berharga yang dimiliki anak Adam. Allah SWT telah menganugerahi waktu 24 jam sehari bagi setiap orang untuk beraktivitas dan beribadah. Namun, apakah kita sudah memanfaatkan waktu kita? Sesungguhnya waktu yang telah berlalu, meskipun satu detik, tidak akan dapat terulang lagi. Begitupun dengan berbagai kesempatan yang kita miliki. Jika kesempatan ada di pagi hari sudah lewat, maka hilang sudah momentum yang bias diambil, karena tidak ada yang tahu apakah kita bias berjumpa lagi esok pagi.
Alangkah beruntungnya orang-orang yang dapat memanfaatkan waktunya dalam kehidupan ini. Sehingga waktunya bernilai menjadi pahala kebaikan. Sedangkan orang-orang yang lalai, maka akan menghabiskan waktunya tanpa arti dan manfaat. Dengan waktu yang telah dimiliki, manusia dapat beruntung atau rugi. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-‘Ashr : “Demi masa. Sesungguhnya manusia dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, mengerjakan amal kebajikan, dan saling berwasiat pada kebenaran dan pada kesabaran.” (Q.S. Al-‘Ashr : 1-3).
Berdasarkan ayat di atas, maka nilai waktu seseorang tergantung dari setiap individu menggunakannya pada jalan yang diridhai Allah SWT. Selain itu, Allah SWT juga telah bersumpah dengan waktu dalam banyak ayat dalam Al-Quran. Hal tersebut menunjukkan bahwa betapa tinggi nilai sebuah waktu. Abu Barzah al-Aslami meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Pada hari kiamat nanti, dua kaki seorang hamba tidak akan bias melangkah sebelum ia ditanya tentang empat perkara : Digunakan untuk apa umurnya? Dihabiskan untuk apa waktu mudanya? Dari mana ia mendapatkan hartanya? Digunakan untuk apa hartanya tersebut?” (HR. Tirmidzi dan ad-Darmi).
Hadist di atas telah mengingatkan kita bahwa setiap orang akan diminta pertanggungjawabannya terhadap waktu yang telah digunakan. Bagi seorang muslim, waktu dapat bernilai kebaikan jika digunakan untuk beribadah, sehingga menghasilkan pahala. Begitu juga sebaliknya, satu jam dapat menjadi keburukan jika waktu digunakan untuk berbuat hal yang tidak baik, seperti ghibah, mencuri dan sikap tercela lainnya. Jangan sampai timbul rasa penyesalan pada kita, karena telah melewatkan waktu dan kesempatan berharga, disebabkan lalai dalam memanfaatkan waktu yang ada. Maka, berusahalah dengan sekuat tenaga untuk selalu melakukan hal-hal yang dapat memberikan manfaat, baik didunia maupun diakhirat. Karena jika ada waktu yang telah terlewat, maka waktu itu tidak akan pernah kembali selama-lamanya.
Memanfaatkan Waktu Luang
            Tak dapat dipungkiri, waktu memegang peranan penting dalam kehidupan kita. Namun pada kenyataannya, banyak kita temui orang yang begitu santai dan menunda pekerjaannya. Padahal, tanpa disadari waktu tersebut akan pergi dan tak dapat diulang kembali. Contohlah Rasulullah SAW yang selalu memanfaatkan waktu dalam kehidupannya. Siang hari, Rasulullah SAW bekerja menjadi pedagang, pendakwah sekaligus kepala pemerintahan yang sangat amanah. Saat malam hari, Rasulullah SAW tidak terlalu banyak tidur, karena beliau selalu melaksanakan Qiyamul Lail hingga kakinya bengkak. Sungguh, begitu banyak pekerjaan yang dilakukan Rasulullah SAW selama hidupnya, membangun peradaban Islam, berperang dan menolong orang-orang yang lemah hingga namanya dikenang sepanjang masa.
            Dalam sebuah hadist riwayat Bukhari, Rasulullah pernah bersabda agar kita berhati-hati menghadapi kenikmatan. “Ada dua kenikmatan yang membuat orang terpedaya, yakni nikmat sehat dan waktu senggang.” (HR. Al-Bukhari).
            Para cendekiawan muslim sangat menyadari makna hadist tersebut dengan memanfaatkan waktu luangnya dengan baik. Sebutlah Imam An-Nawawi yang wafat diusia 45 tahun, namun karyanya sangat banyak dan masih dijadikan sumber rujukan oleh umat muslim saat ini. Selain itu, Abu Bakar Al-Anbari yang setiap pekan membaca sebanyak 10.000 lembar. Ada pula Ibnu Aqil yang menulis kitab paling spektakuler, yaitu Kitab Al-Funun. Kitab yang memuat beragam ilmu hingga Ibnu Rajab, dan sebagian orang mengatakan bahwa kitab tersebut mencapai 800 jilid. Dan masih banyak lagi contoh luar biasa lainnya yang dapat memanfaatkan waktu luang.
Terus Berbuat Baik
            Jika bercermin pada generasi salafus salih dan cendekiawan muslim yang dapat menghasilkan karya-karya besar, maka mengapa tidak semua orang dapat menghasilkan karya sama seperti mereka? Padahal semua manusia memiliki waktu yang sama, yaitu 24 jam dalam sehari. Namun, hasil tiap individu per hari dapat berbeda. Hal tersebut dikarenakan tergantung dari tiap orang memanfaatkan waktunya.
            Nah, diakhir penghujung tahun ini, ada baiknya kita mulai mengatur waktu. Bila pada tahun ini kita sudah merasa mendapatkan hasil yang baik, maka jangan cepat puas. Karena bisa jadi, jika kita memanfaatkan waktu luang dengan lebih baik maka hasilnya akan lebih baik lagi. Sesungguhnya kehidupan didunia ini sangatlah singkat, hingga sebagai seorang hamba Allah SWT, kita harus mempersiapkan bekal untuk akhirat. Maka, sudah sepantasnya seorang muslim memaksimalkan waktu yang mereka miliki dengan terus berbuat kebaikan, agar tak ada penyesalan dalam hidup ini. Dengan demikian, jika seorang muslim mengisi waktunya dengan ibadah dan perbuatan baik, maka pahala pun akan senantiasa mengalir dalam hidupnya. Wallahua’lam bisshowab.
(Yatim, Edisi Desember 2012 : 4-5)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0