RSS

KITA BUTUH PEMIMPIN SABAR

Memegang tampuk kepemimpinan tidak seindah apa yang tampak. Sebab segala kemudahan dan fasilitas yang tersedia merupakan ujian kesabaran yang harus dilalui oleh seorang pemimpin. Ia harus memiliki kesabaran saat berkuasa. Artinya ia harus pandai-pandai menahan diri agar terhindar dari keserakahan ketika berkuasa. Ia harus menyiapkan system yang tepat untuk menjalankan kepemimpinan agar berjalan secara baik dan benar. Sehingga, jika saatnya tiba untuk lengser, ia tidak akan merasa berat untuk meninggalkan kursi kekuasaannya.
Seorang pemimpin yang amanah akan sangat dicintai oleh rakyatnya karena ia mampu memberikan manfaat dalam membangun dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Selain itu dia telah menyiapkan proses regenerasi dengan baik. Seorang pemimpin, baik pemimpin negara, sekolah, bahkan pemimpin keluarga sekalipun, harus mempunyai keberanian untuk meminta nasihat dari orang lain dan siap menerima koreksi. Ia juga harus sabar untuk tidak ingin berkuasa terus-menerus. Sebaliknya, ia memberikan kesempatan pada yang lainnya untuk dapat berkarya dan mengembangkan kemampuan.
Fenomena saat ini memberikan indikasi bahwa banyak pemimpin yang merasa keberatan jika kursinya diambil-alih orang lain, sebab kursi tersebut telah dijadikan sebagai sandaran hidup oleh mereka. Jika kursi itu diambil, maka ia akan kelabakan layaknya seseorang yang kebakaran jenggot sambil mencari sandaran lain. Oleh karena itu, penting bagi kita saat ini untuk menyiapkan calon-calon pemimpin masa depan dengan menanamkan rasa cinta pada kemuliaan, bukan pada kedudukan.
Banyak sekali orang yang ambisius membabi-buta ingin mendapatkan kekuasaan. Seseorang yang akhlaknya buruk merasa dirinya siap menjadi pemimpin. Tapi sebaliknya, seseorang yang berakhlak mulia dan dikenal pandai memimpin, malah menolak kekuasaan yang disodorkan padanya dengan alas an takut tidak bisa berbuat amanah.
Menjadi pemimpin bukanlah suatu dosa. Suatu saat, seseorang harus maju menjadi pemimpin, terutama ketika tidak ada lagi orang lain yang pantas memimpin. Menjadi pemimpin adalah karunia Allah yang harus disyukuri. Alasan menerima tampuk kepemimpinan adalah bukan karena cinta kekuasaan, tapi menolak kezaliman dan orang-orang zalim yang dapat menyengsarakan rakyatnya.
Ujian paling berat bagi seorang pemimpin adalah dalam menggunakan kekuasaannya. Dan, senjata yang paling tepat adalah dengan menggunakan hatinya. Semakin sering ia menyebut dirinya sebagai pemimpin, maka jelas-jelas ia telah menurunkan kualitas pribadinya. Jika pemimpin itu menggunakan hatinya, maka ia akan meningkatkan kearifan dan kedewasaannya sehingga kemudian ia akan dicintai rakyatnya. Seperti itulah tipe pemimpin yang dirindukan umat manusia.
Kita berharap suatu saat nanti lahir seorang pemimpin yang begitu dicintai, sehingga masyarakat dapat bekerja dengan keikhlasan dan tidak merasa dipaksa. Rasa cinta mereka adalah rasa cinta rasional yang tidak akan memperdaya mereka dan pemimpinnya. Perlu adanya keseimbangan dalam mencintai seorang pemimpin.
Cinta terhadap seorang pemimpin tidak berarti harus selalu mengamini segala hal yang dilakukan olehnya. Mencintai seorang pemimpin harus disertai oleh kemampuan untuk membantu dan mengoreksinya.
Dan sebaliknya, pemimpin yang dicintai harus bijak dalam memimpin rakyatnya. Ia tidak membodoh-bodohi orang lain untuk taat padanya. Kuncinya adalah ia harus mempunyai kemampuan untuk menjelajahi hati orang-orang yang dipimpinnya. Kemampuan berempati seperti itu memang tidak mudah, tetapi ia harus melatih diri agar hatinya peka terhadap segala kondisi.
Kepemimpinan itu adalah suatu keterampilan. Keterampilan itu membutuhkan bakat yang perlu dilatih sejak dini. Orang yang mahir berbicara belum tentu bisa jadi pemimpin, jika bakat tersebut tidak diringi dengan ilmu. Bakat bicara tanpa ilmu, maka bicaranya akan ngawur, ngalor-ngidul, tanpa arah dan tujuan.
Saat ini, bangsa Indonesia sedang mengalami krisis kepemimpinan. Stock pemimpin yang memiliki tingkat kematangan pribadi bernutu tinggi, tingkat kearifan, kecerdasan, kesabaran, dan tingkat kebersahajaan yang mumpuni sangat kurang.
Pemimpin masa depan harus dipersiapkan dari awal. Jangan ujug-ujug, tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba muncul seseorang menjadi pemimpin padahal sebelumnya ia dikenal buruk akhlaknya. Bisa jadi ia hanya mengandalkan keberanian saja untuk mendapat kursi empuk sehingga ia petantang-petenteng menampilkan gaya terbaiknya untuk menjadi seorang pemimpin, padahal tukang mebel yang kursi empuknya lebih bagus dari itu, tidak banyak gaya!
Pemimpin yang baik itu dinilai dari kematangan pribadi dan karyanya. Ia harus memiliki visi ke depan dan strategi mengatur apa yang dia pimpin. Ia juga harus mempunyai kemampuan untuk mensinergikan potensi masyarakat dan memotivasi mereka untuk berbuat terbaik untuk diri, keluarga, bangsa, dan negara.
Semuanya membutuhkan latihan yang prosesnya cukup panjang. Tidak seperti tukang sulap yang hanya menyerukan kata-kata simsalabim, lalu muncul seekor kerbau dari sebuah topi.
Babak-belurnya suatu system tergantung pada kualitas pemimpin. Maka percayalah, akan datang suatu masa nanti, di mana masyarakat Indonesia tidak mau memilih para pemimpin yang buruk akhlaknya. Pemimpin yang diidam-idamkan adalah pemimpin yang jujur, bersih, dapat dipercaya, dan tidak mengobral janji. Ia adalah orang yang cakap, kerjanya profesional, kreatif, inovatif, dan mampu mengelola sumber daya bangsa ini yang begitu dahsyat alamnya. Akhlaknya pun mulia, terampil, dan bersahaja, serta tidak banyak gaya.
Sebuah prestasi kepemimpinan tidak dinilai dari seberapa banyak penghargaan yang telah ia terima. Tapi sebuah prestasi dinilai dari usahanya untuk menyejahterakan rakyat dan membimbing mereka ke jalan kebaikan bukan kemungkaran. Dalam hal ini dibutuhkan kesabaran dari para pemimpin. Bukankah Allah selalu beserta orang-orang yang sabar?
Anak, keluarga, dan kedudukan bisa menjadi fitnah jika kita tidak mampu menyukurinya dengan benar. Kita bisa terhindar dari kezaliman dan kehinaan akibat kekuasaan yang sewenang-wenang dengan selalu menumbuhkan kesabaran dalam diri kita. Kita harus mencintai pemimpin yang mencintai Allah dan rasul-Nya. Mudah-mudahan Allah mengaruniakan kepada kita kesabaran di kala kita diberi amanah, kelapangan, dan kekuasaan.
Wallahu a’lam.

(K.H. Abdullah Gymnastiar : Meraih Bening Hati dengan Manajemen Qolbu : 132 - 135)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

MENGGANTI DENDAM MENJADI IHSAN

Banyak film yang bercerita tentang aksi balas dendam seseorang akibat pembantaian keji yang dilakukan penjahat terhadap anak, istri, keluarga, atau sahabatnya. Dalam cerita seperti itu, biasanya orang yang melakukan balasa dendam tersebut menjadi satu-satunya orang yang selamat dari pembantaian. Selanjutnya dapat ditebak, pada ujung cerita penonton biasanya akan disuguhi adegan balas dendam yang sangat keras dan berdarah-darah.
Dendam merupakan buah dari hati yang terluka, tersakiti, teraniaya, atau yang merasa terambil haknya. Wujud dendam yang paling konkret adalah kemarahan. Seseorang meluapkan amarahnya karena tidak suka melihat orang yang dia benci mendapat kesenangan. Dia lebih suka melihat orang itu sengsara, melebihi dirinya. Makin membara dendam seseorang, dia akan sekuat tenaga mencari jalan untuk mencemarkan, mencoreng, bahkan kalau perlu mencelakakan “musuh” sampai binasa.
Berbagai alas an memang tak jarang membuat seseorang tega melakukan balas dendam dengan keji. Ada yang balas dendam karena merasa telah ditipu atau karena takut disaingi. Perasaan iri, dengki, dan disisihkan juga dapat membuat seseorang tiba-tiba ringan tangan dan tidak punya belas kasihan. Hatinya mendadak beku dan sedikit pun tidak kenal ampun. Yang terbesit dalam benaknya hanya satu : balas dendam!
Seperti itulah ketika hati seseorang diliputi rasa dendam yang membara. Ia belum merasa puas kalau dendamnya belum tumpah terbalaskan. Tidur tak terasa nyenyak, setiap hari hatinya diliputi perasaan gelisah. Di pelupuk matanya selalu terbayang seorang “musuh” yang sedang menari-nari menantang dirinya. Itulah keadaan diri seorang pendendam. Lalu bagaimana sebenarnya kedudukan orang pendendam di sisi Allah?
Mungkin sudah merupakan sifat lumrah manusia, manakala hatinya disakiti orang lain, dia akan menyimpan rasa sakit hati yang bisa berujung pada rasa dendam. Akan tetapi, bukan berarti kita harus dendam setiap kali disakiti atau didzalimi. Malah sebaliknya, jika didzalimi maka doakan orang-orang yang mendzalimi itu agar bertobat dan menjadi orang saleh. Apalagi doa orang yang teraniaya itu mustajab, sehingga ketika kita didzalimi, saat itu terbuka peluang doa-doa kita akan dikabulkan. Jika kita meminta sesuatu, Allah akan mengabulkan. Nah, mengapa kita tidak minta agar orang-orang yang dzalim itu, Allah ubah menjadi saleh?
Memang pahit rasanya, kita mendoakan kebaikan untuk orang-orang yang telah menyakiti diri kita. Tapi akan lebih pahit lagi jika orang itu tidak berubah lebih baik. Bisa jadi dia akan lebih memperpanjang lagi daftar kedzalimannya. Di sinilah tampaknya  kita harus mulai belajar menerima sikap buruk orang lain lalu membalasnya dengan balasan sikap yang terbaik. Hal ini tidak merugikan, justru akan menjadi sarana untuk menuju kemuliaan.
Ada sebuah formula kemuliaan yang telah dituntunkan oleh Allah “Idfa’ billatii hiya ahsan.” (Balaslah sikap buruk orang lain dengan sikap yang lebih baik [ahsan]). Dan ternyata, sikap ahsan itu dapat mengubah permusuhan menjadi persahabatan. Bagaimana orang lain akan menerima kita, jika dia hanya disuguhi kemarahan dan kebencian kita? Kita jangan memimpikan orang lain akan berbuat baik terhadap kita. Namun justru, kitalah yang harus memulainya.
Untuk mencapai derajat ahsan memang tidak mudah. Tapi, kita bisa belajar sejak sekarang dengan cara selalu bersikap baik, tanpa menghitung untung-rugi dari setiap kebaikan yang kita perbuat. Syaratnya, kita harus mempunyai kesabaran dan tetap mengharap karunia dari Allah swt.. Biarlah Allah yang akan membalas segala amalan baik yang telah kita lakukan. Adapun tentang amalan buruk orang lain, marilah semua itu kita sikapi dengan hati yang bening dan lapang.
Allah memelihara Rasulullah saw. dari  sifat pendendam. Betapa pun beliau telah dihina, dicaci, bahkan berulang kali hendak dimusnahkan jiwanya. Tapi jiwa Rasul adalah jiwa yang lapang. Atas semua itu beliau memaafkan, melupakan, juga berdoa baik. Rasa maaf beliau begitu melimpah. Tidak sedikit orang menyakiti beliau, namun melihat keluhuran akhlaknya, hati-hati mereka melunak lalu memeluk Islam.
Sadarilah bahwa dendam adalah sifat yang amat buruk. Selain bisa menghancurkan kebahagiaan, pikiran, dan akhlak, dendam juga bisa menjerumuskan orang ke dalam kerugian dunia-akhirat. Oleh karena itu, berangsiapa yang dibelit rasa dendam, maka segeralah mengubah rasa dendam tersebut dengan kebaikan. Kita tidak bisa memaksa orang lain bersikap baik kepada kita. Tapi, kita bisa memaksa diri kita untuk berbuat baik pada orang lain.
Dalam Al-Quran surah al-Hujuraah ayat 11, Allah swt. berfirman, “Bahwasanya orang-orang yang beriman itu bersaudara.” Jika kita menganggap orang lain adalah saudara, maka segala perselisihan dan pertikaian akan diselesaikan secara kekeluargaan layaknya perselisihan antara adik dan kakak. Karena suatu sebab, seorang kakak bisa saja memusuhi adiknya, begitu pun sebaliknya. Akan tetapi, pertengkaran mereka biasanya tidak berlangsung lama. Jika tidak diselesaikan sendiri, orang tua akan berperan mendamaikan. Mungkin saja mereka akan disuruh pacantel (Sunda : saling mengaitkan jari kelingking sebagai tanda perdamaian). Solusi ini tampaknya sederhana, tapi realistis.
Permasalahan kadang berubah menjadi rumit, manakala sifat egois lebih menonjol mengalahkan hubungan darah dan hati (persaudaraan). Apalagi jika tidak ada orang tua yang dapat mendamaikan. Untuk itu, kita butuh kunci-kunci untuk membuka pintu yang menghalang terciptanya persaudaraan antarsesama.
Kunci pertama adalah latihan. Makin banyak kita merasa bersaudara, makin ringan beban yang harus dipikul. “Seribu saudara akan terasa kurang, namun satu mush terasa sangat banyak.” Sayangnya, kebanyakan kita lebih mudah menciptakan permusuhan disbanding menjalin persaudaraan. Baru tersenggol atau berbeda pendapat sedikit saja langsung tersinggung. Orang tua pun sampai tega menganggap anaknya sendiri sebagai musuh. Begitu pun dengan istri, orang tua, mertua, dan lain-lain. Lalu kenapa kita akan merasakan bahagia di dunia, jika hati selalu diliputi perasaan dendam?
Walau kita berbeda secara fisik, tapi tetap saja nenek-buyut kita semua adalah Adam a.s. dan Bunda Hawa. Artinya, factor tempat mungkin memisahkan kita, tapi secara hakiki kita saling bersaudara sebab kita adalah sama-sama keturunan Adam a.s.. Tidak ada salahnya kalau kita berlatih menjalin persaudaraan dari sekarang, toh perbedaan itu indah.
Kunci kedua, jangan mempersulit diri. Pikiran kita jangan digunakan untuk memperumit masalah, tapi gunakan untuk mencari solusi masalah. Pernah ada yang bercerita tentang seseorang yang membeli tiga kilo jeruk. Kemudian di mengetes rasa jeruk itu satu per satu, ternyata rasanya asem semua. Maka dia pun protes pada penjualnya. Dia merasa dirugikan karena tiga kilo jeruk yang dibeli asem semua. Tapi sesudah itu, dia baru tahu bahwa penjual jeruk itu jauh lebih rugi. Tiga kuintal jeruk dagangannya asem juga. Seharusnya, orang itu merasa bahagia karena telah ikut meringankan beban penjual jeruk dengan membeli jeruk darinya. Walau hanya tiga kilo, setidaknya cukup mengurangi kerugian.
Kunci ketiga, adalah memiliki semangat berbuat demi kemaslahatan bersama. Jangan sampai kita untung sendiri, sedang orang lain merugi. Makin banyak orang yang merasa senang, makin tenteram hidup kita. Makin banyak orang yang tersakiti, justru mereka akan mencari-cari kesempatan untuk mencelakakan kita.
Untuk menghilangkan rasa dendam yang membara dalam hati, kita harus melatih hati kita agar tidak terlalu sensitif. Sekejam apa pun sikap orang lain, kita siap menghadapinya sebab hati kita telah terlatih. Hati yang terlatih dan kuat akan terpelihara dari dendam kesumat. Kalau kita disakiti seseorang, jangan melihatnya sebagai orang yang telah menyakiti kita, tapi lihatlah dia sebagai sarana ujian dan lading amal dari Allah. Kalau kita selalu melihat orangnya, maka hati akan sakit.
Kalau kita dikritik, dibenci, atau dikoreksi orang, maka kita harus evaluasi diri. Kita tidak akan pernah rugi dengan langkah ini. Kita harus meneliti kalau-kalau perilaku kita selama ini cukup membuat orang lain kesal. Jangan pernah merasa sombong dengan kesalehan diri sendiri. Selalulah merasa kurang dan kurang dalam berbuat kebaikan.
Langkah berikutnya, kita harus selalu memperbaiki diri. Jawaban kita atas segala permasalahan adalah akhlak yang baik. Biarlah orang akan mencemooh atau menghina. Pada akhirnya, orang akan melihat siapa yang buruk dan siapa yang baik. Kalau kita berakhlak luhur, Allah akan memuliakan kita. Jika Allah telah menganugerahkan kemuliaan, penghinaan orang sekejam apa pun tidak aka nada artinya.
Maka sekali lagi, “Idfa’ billatii hiya ahsan!” Balaslah sikap buruk orang lain dengan sikap yang lebih baik. Apalagi jika orang lain telah bersusah payah berbuat baik pada kita, maka tiada pilihan lain selain membalas semua itu dengan kebaikan yang lebih tinggi. Semoga Allah menolong kita menjadi pribadi-pribadi yang ihsan. Amin.
Wallahu a’lam.

(K.H. Abdullah Gymnastiar || Meraih Bening Hati dengan Manajemen Qolbu : 120 - 125)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments1

MENYIKAPI KEMARAHAN

“Dan bersegeralah menuju ampunan Allah yang memiliki surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang dijanjikan untuk orang-orang yang bertakwa, yaitu orang-orang yang menafkahkan hartanya baik di waktu lapang maupun di waktu sempit. Dan orang-orang yang suka menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang, Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali Imran : 133 - 134)
Sekuat apa pun iman seseorang, kalau ia termasuk seorang pemarah, maka bisa rusak akhlaknya. Jika ditimbang dari sudut kemarahan, ternyata orang itu bisa dikelompokkan dalam empat golongan.
Pertama, orang yang lambat marah, lambat reda, dan lama bermusuhannya. Jenis ini sungguh jelek. Bagaimana tidak, seseorang yang sedang marah dan durasi kemarahannya sangat lama, akan kesulitan saat ia harus mengambil keputusan yang tepat. Selain itu, akibat kemarahannya juga, orang lain akan menjauhi karena takut terjerumus dalam bara permusuhan.
Kedua, cepat marah dan lambat redanya. Jenis kedua ini sungguh lebih jelek dari yang pertama, sebab apa pun yang terjadi akan disikapi dengan kemarahan. Orang seperti ini bisa dengan tiba-tiba menjadi marah dan membutuhkan waktu lama untuk menurunkan kemarahannya itu.
Ketiga, cepat marah dan cepat redanya. Seseorang yang memiliki sifat ini kondisinya cenderung turun-naik. Ia bisa marah secara tiba-tiba dan sedetik kemudian kembali pada kondisi semula, seolah tidak pernah terjadi apa-apa
Konon orang-orang mukmin memiliki sifat demikian. Cepat marah ketika ada sesuatu yang tidak pantas terjadi, namun ia akan segera reda ketika paham akan latar belakang di balik semua itu. Cepat marah, namun cepat pula redanya.
Keempat, lambat marah dan cepat redanya. Orang yang memiliki sifat seperti ini sangat sulit tersinggung, walau di depan matanya terjadi sesuatu yang benar-benar salah. Ia akan mencari seribu satu alasan untuk memaklumi kesalahan orang, memaafkan lalu melupakannya. Namun sekali dia marah, ia akan cepat sekali memaafkan kesalahan orang lain.
Mudah-mudahan Allah memilihkan untuk kita sifat yang terbaik dalam pandangan-Nya. Amin.
Potensi kemarahan sebenarnya sudah dimiliki manusia sejak ia lahir. Sebelum bayi belajar bicara, emosi yang sudah berkembang di dalam dirinya adalah perasaan gembira, takut, malu, heran, dan marah. Marah merupakan reaksi dari perasaan kesal yang memuncak ketika dia temui hal-hal yang tidak selaras dengan keinginan dan pandangan-pandangannya. Orang bisa marah karena alasan konflik, penghinaan, cemoohan, ancaman, maupun tekanan rasa sakit.
Ungkapan rasa marah dan sebab-sebabnya bersifar pribadi. Semua itu bisa dipengaruhi oleh factor pengalaman hidup, jenis kelamin, pendidikan, keyakinan, dan kebudayaan. Dalam keadaan marah, biasanya suara seseorang akan meninggi. Saraf-sarafnya bereaksi cepat dengan mengeluarkan hormone adrenalin yang menyebabkan energi berlebihan dan dapat menimbulkan reaksi tiba-tiba. Bila marahnya reda, saraf-saraf lain ikut bekerja sehingga keadaan diri menjadi seimbang kembali.
Reaksi darurat ini dapat menyebabkan seseorang mampu mengerjakan sesuatu yang mustahil dilakukan bila orang yang bersangkutan dalam keadaan normal. Maka lewat berbagai media massa kita kerap mendengar atau melihat pembunuhan yang dilakukan oleh seseorang ketika sedang kalap karena kemarahannya sangat tinggi.
Orang yang dapat menahan dan mengekang perasaan amarahnya dan tidak mau melampiaskannya, sekalipun hal itu bisa saja ia lakukan, sebenarnya ia termasuk orang yang kuat. Mengapa? Karena, orang yang kuat bukanlah seorang jago beladiri, angkat besi, atau semacamnya, tetapi orang yang mampu menahan dirinya ketika marah.
Nabi Muhammad itu seorang yang sabar, tenang, dan senyumannya tulus. Tidaklah dunia menjadikannya marah dan tidak pula beliau marah karena dunia. Berbeda ketika kebenaran dilanggar, maka tak ada sesuatu yang akan mampu menahan amarahnya sampai beliau memenangkan kebenaran itu.
Beliau tidak akan marah kalau hanya karena alasan dirinya dan tidak pula beliau akan membela diri secara membabi-buta. Rasulullah pantang melihat kebenaran dilecehkan walau dengan senda gurau. Bila beliau senang, dipejamkanlah matanya. Sebesar-besar tertawanya adalah tersenyum lebar hingga terlihat gusi-gusinya. Bila beliau tertawa kelihatan manis sekali bagaikan butiran salju (tampak giginya yang putih).
Rasulullah adalah manusia, karena itu beliau juga pernah marah. Akan tetapi, beliau marah dengan cara dan alasan yang sangat tepat dan pada saat yang tepat serta menghasilkan manfaat. Rasulullah pernah marah ketika Perang Hunain berakhir, yaitu saat pembagian ghanimah (harta rampasan perang) kepada orang-orang yang baru masuk Islam di Mekkah dan kaum Anshar. Sebagian kaum Anshar merasa kecewa karena menganggap Rasulullah telah berlaku tidak adil pada mereka dalam pembagian ghanimah tersebut. Saat Rasulullah mengetahui hal tersebut, Rasulullah berkata, “Jika Allah dan Rasul-Nya dianggap tidak adil, maka siapa lagi yang adil di dunia ini?”
Kalimatnya sungguh singkat tapi diplomatis dan maknanya mendalam. Dan, hal yang paling penting adalah kata-kata beliau tidak menyakiti siapa pun malah dapat membangkitkan kesadaran. Artinya, boleh saja kita marah, asalkan kemarahan kita dapat mengubah sesuatu menjadi lebih baik. Dan, yang lebih baik adalah kita mampu menekan rasa amarah walaupun kita mampu melampiaskannya, karena Allah telah berjanji akan memenuhi hati kita dengan rasa ketenangan dan keimanan. Dengan demikian, persediaan maaf kita buat orang lain akan lebih banyak.
Orang-orang yang suka member maaf atas kesalahan orang lain dan membiarkan mereka, tidak menghukum sekalipun mereka mampu melakukan itu, hal itu merupakan tingkat penguasaan diri yang jarang bisa dilakukan oleh setiap orang. Tapi tidak mustahil kita mampu melakukannya. Oleh karena itu, perbanyaklah istighfar dan berwudhu. Hindarilah tempat-tempat yang dapat memancing kemarahan. Jika orang lain terlanjur marah pada kita, jangan pernah kita meladeni kemarahan dengan kemarahan. Tidak ada salahnya kita mencontoh Nabi yang tidak pernah dipusingkan oleh urusan dunia dan tidak pula beliau membuat pusing atau marah dunia.
Pernah ada satu cerita tentang Nabi dan orang badui yang datang pada beliau meminta uang. Setalah Nabi memberinya uang, orang badui itu mengklaim Nabi seorang yang pelit karena jumlah uang yang diberikan padanya sedikit. Kontan saja para sahabat yang mendengar hal tersebut langsung marah. Namun, ternyata Nabi tidak demikian. Beliau menghadapinya dengan tersenyum dan tentu saja memberikan tambahan uang padanya dan mengatakan alasan marahnya para sahabat sekaligus memberikan nasihat padanya untuk selalu berbicara dengan kata-kata yang mengandung doa. Keesokan harinya, ternyata orang badui itu mengikuti nasihat Nabi dan ia mendoakan Nabi, keluarganya, dan para sahabat.
Demikianlah, jika kemarahan orang dihadapi dengan senyuman, niscaya hasilnya akan baik. Lebih baik tersenyum daripada marah-marah, karena marah akan lebih banyak menguras tenaga dan saraf-saraf kita akan tegang terus. Dengan begitu, kemungkinan besar akan menyebabkan kerutan pada muka dengan cepat. Jika orang lain telah membuat kita kesal, terimalah dengan sikap yang tenang. Kita tidak bisa memaksa orang lain untuk bersikap sesuai keinginan kita, tapi kita bisa memaksa diri sendiri untuk menyikapi orang lain dengan sikap yang terbaik yang kita miliki. Jika harapan kita terhadap orang lain itu sangat besar, akan besar juga peluang kita untuk sakit hati dan marah saat harapan itu tidak terwujud.
Mudah-mudah Allah tidak melimpahkan bencana pada kita karena kedzaliman yang pernah kita perbuat dengan kemarahan yang meluap-luap. Dan mudah-mudahan, Allah selalu menjaga lisan ini agar terhindar dari kebiasaan kita mengomel dan berkata-kata sesuatu yang tidak bermanfaat. Kita berharap, Allah akan selalu mengkaruniakan pada kita kesanggupan untuk menjaga amarah dan memaafkan orang-orang yang menyakiti kita. Jika kita mampu menjaga diri dari amarah yang membara, niscaya kita akan merasakan manisnya menahan amarah.
Wallahu a’lam.

(K.H. Abdullah Gymnastiar || Meraih Bening Hati dengan Manajemen Qolbu : 116 - 120)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

MENGIKIS BIBIT-BIBIT RIYA

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu batalkan sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang membelanjakan hartanya karena riya kepada manusia dan tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Perumpamaan mereka seperti batu yang licin yang di atasnya tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak memperoleh apa pun dari apa yang mereka usahakan dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang kafir.” (al-Baqarah : 264)
Sungguh beruntung bagi orang-orang yang tidak dihinggapi penyakit riya serta tidak disiksa oleh kerinduan untuk dipuji dan dihormati orang lain. Sebaliknya, kita akan sengsara manakala terlalu banyak memikirkan penilaian orang lain kepada kita. Terlalu memikirkan penilaian orang lain dalam perkara-perkara duniawi hanya akan membuat kita menjadi tersiksa saja. Akan tetapi, lebih tersiksa lagi jika hal tersebut dikaitkan dengan perkara-perkara ibadah, sebab semua amalan kita mungkin saja akan sirna.
Maka berbahagialah bagi orang-orang yang merindukan kemuliaan dan kebaikan. Kalau kita memamerkan amal dan segala sesuatu yang kita banggakan pada orang lain, misalnya saja menceritakan perjalanan belanja ke luar negeri sambil memperlihatkan barang-barang bermerek yang telah dibeli dengan harapan mendapatkan sanjungan dari orang lain, kita akan sangat tersiksa karena harus menguras energi agar terlihat beda dan lebih unggul dari orang lain.
Kita juga akan merasa bangga manakala kita atau salah seorang dari keluarga diterima di salah satu perguruan tinggi negeri ternama di Indonesia, apalagi jika bisa sekolah di luar negeri, jika hati kita sudah diserang penyakit riya, maka kita akan berusaha membuat pengumuman besar agar orang lain tahu. Demikianlah kalau sudah diserang penyakit riya ini, segala sesuatunya ingin selalu dipamerkan.
Rasulullah saw. menyatakan bahwa riya termasuk perbuatan syirik kecil. Beliau bersabda,
“Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk badan dan rupamu, tetapi Allah melihat niat dan keikhlasan dalam hatimu.” (HR. Muslim)
Dalam hadits lain,
“Sesungguhnya yang paling aku takuti atas kamu sekalian adalah syirik kecil.” Sahabat bertanya, “Apakah syirik kecil itu, ya Rasulullah?” Rasulullah kemudian menjawab, “Syirik paling kecil itu adalah riya.”
Dari hadits tersebut dapat dipahami bahwa orang yang riya itu dianggap telah menyekutukan Allah. Dan, yang paling membahayakan dari sikap riya itu adalah akan menyebabkan hangusnya amalan yang telah kita lakukan. Seperti apa sebenarnya riya yang menghanguskan amal itu? Semua amalan yang kita lakukan seharusnya ditujukan hanya kepada Allah dan hanya untuk mendapatkan ridha-Nya. Akan tetapi, bila tujuannya telah beralih pada keinginan untuk dipuji manusia, maka sikap seperti itu akan menghapus nilai amal yang kita lakukan.
Sebagai contoh, saat kita berada di masjid dekat rumah calon mertua, kita berusaha mati-matian untuk mengumandangkan adzan dengan suara terbaik dengan harapan dapat penilaian positif calon mertua. Sayangnya, ternyata mereka tidak berada di rumah dan tentu saja kita akan merasa kecewa dan menyesal telah mengumandangkan adzan. Dan parahnya, kita juga melewatkan shalat di masjid karena terlanjur kecewa dan menyesal. Ada seseorang yang pergi berhaji,  tapi niatnya hanya ingin dipuji. Pulang dari Mekkah, jika dipanggil tak mau nengok kalau tidak diembel-embeli Pak Haji atau Ibu Hajjah. Tentu saja tidak seratus persen diterima, mungkin ini hanya salah satu segmen yang tercuri dari hatinya. Kalau tidak haji, rasanya seperti ada yang kurang di telinganya. Hati-hati!
Hati-hatilah ketika kita menjadi imam di masjid! Luruskan dulu niat kita jangan sampai terbesit dalam hati untuk mendapat pujian dari makmum karena bacaan kita tartil dan ayat-ayat yang dibaca adalah ayat-ayat dari surah yang jarang dihafal banyak orang. Tidak ada perbedaan saat menjadi imam atau pun shalat sendiri dalam membaca bacaan shalat, semuanya harus tartil, benar, dan tertib sesuai tuntunan Rasulullah saw.. Maka, hindarilah sikap riya karena akan menyebabkan ibadah kira sia-sia dan tak ada harganya. Dan bukan itu saja, kita juga akan mendapatkan neraka di akhirat nanti.
Oleh karena itu, selain bisa beramal, kita harus mati-matian menjaga niat. Bagaimana cirinya orang yang tidak ikhlas atau riya itu? Intinya, seseorang itu dinyatakan telah riya, jika niatnya dalam melakukan sesuatu ditujukan untuk mendapatkan pujian dan penilaian dari manusia, bukan dari Allah. Orang riya mudah dikenali, yaitu terjadi perubahan saat ada orang lain yang melihat perbuatannya.
Saat sedang sendirian, sesesorang membaca Al-Quran dengan asal-asalan, ketika datang orang lain, ia akan mengubahnya dengan bacaan yang tartil dan benar makhraj-nya. Dan saat orang lain itu pergi, ia kembali pada kondisi semual, yaitu membacanya dengan asal-asalan, asal bunyi, asal baca, dan tak peduli aka nisi dan maksudnya. Sudah jelas orang ini tidak ikhlas walaupun yang dibacanya adalah Al-Quran. Seperti kata sahabat Ali bin Abi Thalib r.a., ada atau tidak ada orang, jika seseorang itu melakukan amalan dengan cara yang sama, sama-sama benar, maka dinyatakan ia terhindar dari sikap riya.
Maka dari itu, jika kita beramal atau berinfak, saat ada orang lain. Tapi, bukan berarti kita tidak ikhlas jika amalan kita diketahui orang. Ada saatnya amalan kita itu perlu diketahui orang lain sebagai satu cara untuk member contoh baik dan memotivasi orang lain untuk berbuat lebih baik lagi. Seperti kita tahu bahwa amalan Rasulullah itu tidak tersembunyi semuanya, sebagian amalannya diperlihatkan. Jika tidak demikian, bagaimana kita sebagai umatnya mampu mencontoh beliau? Masalah utamanya ada pada niat ikhlas di dalam hati; bukankah semua amalan itu tergantung pada niatnya?
Kita akan membutuhkan kunci jika ingik membuka pintu. Demikian juga jika ingin membuka pintu keikhlasan hati kita maka kita juga membutuhkan kunci. Apa sebetulnya kunci ikhlas itu? Ternyata, ikhlas itu berbanding lurus dengan tingkat keyakinan kepada Allah. Makin kita yakin bahwa Allah itu Maha Pembalas, Maha Menyaksikan, Maha Menguasai segala yang kita inginkan, maka kita makin sadar dan yakin bahwa manusia berperan sebagai fasilitas untuk sampainya nikmat, rezeki, dan ujian dari Allah. Walau mati-matian manusia memuji, jikalau Allah menghinakan kita, maka kita tetap akan hina. Mati-matian orang mau member, kalau Allah menolak, maka apa pun tidak akan pernah sampai pada kita.
Untuk apa kita cari muka kepada orang lain, akan lebih baik jika kita mendapat tatapan Allah. Tidak aka nada yang meleset pandangan dari Allah. Balasan dari Allah tidak akan pernah tertukar. Itulah nikmatnya keikhlasan. Rasulullah saw. tidak pernah dipusingkan oleh penilaian makhluk. Beliau selalu menjaga niatnya, tampak ataupun tidak tampak, semua amalannya hanya ditujukan kepada Allah semata.
Wallahu a’lam.

(K.H. Abdullah Gymnastiar || Meraih Bening Hati dengan Manajemen Qolbu : 112 - 116)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0