RSS

MEMBANGUN PENDIDIKAN DARI KELUARGA


Ilmu pengetahuan laksana hamparan laut yang sangat luas dan dalam. Bahkan, lautan ilmu adalah lautan yang tidak bertepi dan tanpa batas akhir. Ilmu pengetahuan pula yang akan menghiasi setiap manusia menjadi lebih berkualitas. Lebih dari itu, ilmu pengetahuan merupakan sarana untuk nenggapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Dalam Al-Quran surah al-Mujaadilah ayat 11, Allah swt. berfirman, “… Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Ayat di atas mengisyaratkan bahwa selain ketakwaan, ilmu pengetahuan juga memiliki fungsi dan kedudukan yang signifikan dalam menentukan derajat seseorang. Betapa tidak? Bukankah orang yang berilmu pengetahuan ibarat gula yang mengundang banyak semut? Ia dapat membawa berkah, baik untuk dirinya sendiri maupun lingkungan di sekitarnya. Orang-orang pun tentu akan memuliakan karena ingin mendapat manfaat darinya.
Terlebih lagi, jika orang yang berilmu itu ikhlas dalam mengamalkannya sebagaimana yang dituntunkan dalam Islam, niscaya Allah akan memberikan balasan yang setimpal. Kala maut menjemput dan putuslah segala amal maka yang akan terus mengalir adalah pahala dari ilmu yang bermanfaat. Sebaik-baik ilmu adalah ilmu yang menjadi amal. Sebaik-baik amal adalah amal yang ikhlas.
Berbicara tentang ilmu pengetahuan, tentu saja akan terkait erat dengan masalah pendidikan. Sungguh tidak dapat dipungkiri bahwa berkenaan dengan masalah pendidikan, bangunan Islam membutuhkan para professional dari berbagai disiplin ilmu sebagai batu penegak. Oleh karena itu, bergiat dibangku pendidikan merupakan langkah awal untuk mewujudkan hal tersebut.
Mungkin, bila kita menyimak realitas dewasa ini, jumlah anak-anak usia sekolah yang tak sempat mencicipi bangku pendidikan kian berkurang. Jumlah sarjana dengan berbagai gelar pun melimpah. Namun, apakah semua itu cukup untuk menjadi indicator terbebasnya umat dari belenggu kebodohan?
Padahal di sisi lain, kita juga menyimak realitas tentang kenakalan remaja, tawuran antarsekolah, bahkan korupsi dan kejahatan-kejahatan “kera putih” yang dilakukan oleh kaum intelektual yang justru sempat mengenyam bangku pendidikan. Ironis memang. Tapi kita kiranya tak perlu untuk saling menyalahkan dulu tentang pola dan sistem pendidikan kita yang berlaku saat ini. Yang penting, bagaimana pola dan sistem pendidikan tertata di rumah tangga kita sendiri. Mengapa? Karena, siapa pun yang kelak menjadi pedagang, politikus, dosen, peneliti, arsitek, tentara, atau apa pun, awalnya tentu sangat bergantung pada pola pendidikan di rumah.
Artinya, kalau kita menginginkan bangsa kita bangkit dan bermartabat, rahasianya adalah rumah tangganya dulu yang harus bermartabat. Sayangnya, kadang-kadang kita tidak sangat serius menentukan visi keluarga, tidak serius meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran kita untuk keluarga. Tidak jarang semuanya serba sisa. Bertemu dengan anak, sisa waktu kerja. Berbicara dengan istri, sisa lelah bekerja; semua serba sisa. Lalu, kualitas seperti apa yang bisa diraih jika semua yang diberikan untuk rumah tangga serba sisa?
Padahal, dalam Al-Quran ditegaskan, “Quu anfusakum wa ahlikum naara.” (Jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka [at-Tahrim : 6]). Ini artinya, yang menjadi prioritas seharusnya adalah menjaga diri dan keluarga. Pokoknya, kalau kita ingin berbuat sesuatu, sesudah kita memperbaiki diri, selamatkan keluarga. Banyak pemimpin yang jatuh gara-gara keluarganya. Bisa dari istrinya, dari anaknya, atau sebaliknya.
Tidak sedikit rumah tangga yang menganggap pendidikan anak hanya pekerjaan ibu, sementara suami lebih sibuk mencari nafkah. Padahal, sosok ibu hanya sebagian daripada potensi di rumah tangga. Memang, mencari nafkah bagi suami adalah kewajiban bahkan ibadah. Namun, mencari nafkah bukan satu-satunya kewajiban, kewajiban lain yang tak kalah penting adalah ketika suami benar-benar berperan sebagai pemimpin di dalam rumah tangga. Pemimpin itu bukan hanya mengendalikan saja, melainkan juga harus bisa mengatur, menentukan arah, sekaligus mengontrol sistem untuk mencapai sebuah tujuan dalam rumah tangga.
Di sinilah, orang tua harus lebih serius menjadi figur suri teladan, jangan sampai anak kecewa pada figur orang tuanya. Misalnya, sudah suami jarang pulang, ketika pulang bisanya hanya marah-marah. Bersikap kurang sopan di hadapan anak, memperlakukan istri pun tidak baik di hadapan anak. Ketika figur ayah yang dilihat tidak mencerminkan akhlaqul karimah, terus bagaimana anak bisa termotivasi untuk berakhlak baik? Di sinilah, kebanggaan anak pada figur ayah bisa pudar begitu saja. Anak tidak lagi melihat contoh konkret dari figur moral.
Oleh karenanya, seorang suami hendaknya bukan hanya bangga karena bisa membuatkan rumah untuk keluarga, jangan hanya bangga karena mampu membelikan mobil, motor, handphone, bayar telepon, dan sebagainya, tapi seorang suami seharusnya berusaha semaksimal mungkin untuk membangun keluarga yang bermoral, bermartabat, dengan ikut memperhatikan pendidikan moral dan akhlak anaknya sebaik mungkin. Sehingga, akhlaknya kelak jauh lebih baik dari orang tuanya. Itulah prestasi. Jangan bangga mempunyai anak kuliah di luar negeri, tapi kelakuannya jelek. Itu tanda kegagalan menjadi orang tua.
Menjadi pemimpin yang baik tidak berarti harus bersikap otoriter. Mendengar saran, masukan, atau keluhan anak juga merupakan bagian dari pendidikan. Dari sana si anak akan melihat bahwa betapa indahnya saling mengoreksi, saling menasihati dan mengingatkan untuk kebaikan. Dari sana pula kepercayaan diri anak akan tumbuh. Dia sadar bahwa eksistensinya diakui dan pendapatnya didengar oleh orang tua.
Mendidik anak dalam rumah tangga tentu saja harus diiringi dengan kekuatan akhlak yang baik dari para orang tua. Sebab, jika tidak, akan memperlemah atau menimbulkan kekecewaan dan konflik batin dalam diri si anak. Misalnya, ketika seorang ibu cenderung bersikap lembut maka bapak jangan kalah lembutnya, tapi tegas. Suami juga jangan memanggil istri dengan sembarangan panggilan.
Bagaimanapun anak akan melihat sikap dan perilaku kedua orang tuanya. Maka dari itu, mulailah berlomba-lomba untuk member contoh bagaimana memuliakan suami atau istri, sehingga hari demi hari di dalam jiwa anak akan semakin tumbuh kebanggaan akan orang tuanya. Kegigihan orang tua yang dengan serius membuat program suri teladan bagi anak-anaknya adalah pendidikan yang tidak ternilai. Singkatnya, apa yang diinginkan dari si anak, mulailah dari diri sendiri. Ingin anak rajin, jadilah orang tua yang rajin. Ingin anak disiplin, jadilah orang tua disiplin. Ingin anak ramah dan lembut, mulailah dari orang tua.
Sesudah membuat komitmen untuk menjadi suri teladan, orang tua juga harus serius dalam mengevaluasi perilaku anak-anaknya. Jika ada anak yang mungkin agak nakal atau bandel, jangan saling menyalahkan, tapi cobalah untuk mencari akar permasalahannya bersama-sama. Apabila memiliki waktu luang, seorang bapak dapat berusaha secara sistematis untuk terus menambah ilmu di sela-sela waktu kerjanya. Sedangkan, jika istri lebih banyak memiliki waktu luang, berusahalah untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya guna menyuplai pengetahuan suami yang waktunya terbatas.
Idealnya, kunci membina rumah tangga memang dimulai sejak pernikahan. Pernikahan seharusnya bukan asal jadi. Tapi, harus tahu untuk apa kita menikah? Misalnya, saya menikah karena ingin sekali memiliki keluarga yang bisa memuliakan ibu-bapak saya, memuliakan keluarga. Saya ingin mempunyai rumah tangga yang produktif dan memberi manfaat bagi lingkungan sekitar. Saya ingin mempunyai rumah tangga yang anak-anak kami itu nanti lebih baik daripada kami, bisa menjadi cahaya bagi umat, mejadi pilar bagi bangsa. Saya akan berjuang keras menafkahkan hidup saya agar generasi sesudah saya dia bisa menjadi orang-orang yang membawa manfaat besar.
Banyak tujuan-tujuan lain yang tentunya diharapkan saat menikah, namun dalam kenyataannya memang tidak selalu seideal yang diharapkan. Akan tetapi, jangan patah semangat dan jangan putus asa, karena mseki mungkin masih banyak kelemahan dalam keluarga, semua itu masih berpeluang untuk berubah. Kelebihan suami atau istri, kita hormati sebagai karunia Allah untuk memperbaiki kita. Begitu pula kekurangannya, kita hormati sebagai lading amal bagi kita untuk memperbaikinya.
Akhirnya, harus disadari bahwa kita bertanggung jawab tidak hanya saat ini, tapi bagi generasi yang akan datang. Setidaknya, konsep pendidikan harus mampu mencapai dua hal; pertama, dia harus mendorong manusia untuk mengenal Allah sehingga mampu beribadah kepada-Nya dengan penuh keyakinan akan keesaan-Nya, menjalankan ritual yang diwajibkan, dan mematuhi syariat serta ketentuan-ketentuan-Nya. Kedua, dia harus mampu mendorong manusia untuk memahami sunnatullah di alam raya ini, menyelidiki bumi dan isinya, serta memanfaatkan segala sesuatu yang telah diciptakan untuk melindungi iman dan menguatkan agamanya.
Wallahu a’lam.

(K.H. Abdullah Gymnastiar || Meraih Bening Hati dengan Manajemen Qolbu : 60 - 64)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar