RSS

SYAHADATNYA ORANG KANTORAN

“Syahadat yang terucap di lidahnya memang ‘Asyhadu an laa ilaaha illallah’, tapi persaksian yang muncul dari perilakunya justru ‘Asyhadu an laa ilaaha illa-uang, illa-bos, illa-atasan. Illa-kebijakan perusahaan, illa-pangkat, illa-popularitas.”

S
yahadat, begitu sulitkah mempertahankannya? Jika pengucapannya hanya dilisan, mungkin mudah. Namun permasalahannya adalah seauh mana pemahaman kita mengenai makna kalimat syahadat. Di zaman Rasulullah saw., masayarakat Arab paham betul makna syahadat. Sehingga ketika Rasulullah mengumpulkan pemimpin-pemimpin Quraisy dari kalangan Bani Hasyim, Rasulullah bertanya, “Wahai saudaraku, maukah kalian aku beri kalimat, di mana dengan kalimat itu kalian dapat menguasai seluruh jazirah Arab?” Dengan tegas Abu Jahal menjawab, “Jangankan satu kalimat, sepuluh kalimat pun aku terima.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Ucapkanlah Laa ilaaha illallah Muhammadan Rasulullah.” Bagaimana reaksi Abu Jahal setelah mendengar kalimat itu? “Kalau itu kalimat yang engkau minta, berarti engkau telah mengumandangkan peperangan dengan semua orang Arab dan bukan Arab.”

Ya, Abu Jahal paham betul tentang makna syahadat. Ia paham bahwa ketika ia bersedia mengucapkan dua kalimat syahadat, konsekuensinya ia harus menerima segala aturan yang ditetapkan dalam Islam. Maka dengan tegas Abu Jahal menolaknya.

Abu Jahal, sang penentang dakwah, bukanlah orang bodoh di zamannya. Bahkan Abu Jahal adalah salah satu di antara sedikit penduduk Mekah yang pandai baca tulis. Ia fasih dalam sastra, banyak harta, hidup elegan, dan berotak cerdas. Namun karena pengingkarannya kepada Allah, semua kelebihannya itu sama sekali tak bermakna. Bahkan ketika ia menyombongkan diri sebagai ‘aziizul kariim, orang perkasa lagi mulia, Allah justru menyerahkan kematiannya kepada dua bocah Anshar ‘ingusan’ dan ‘Abdullah ibn Mas’ud, gembala yang dulu sering dihajarnya. Di akhirat, Allah memberi hidangan zaqqum di Jahannam, seraya memfirmankan ejekan kepadanya seperti yang diabadikan dalam surah Ad-Dukhan ayat 49, “Rasakanlah, sesungguhnya kamu ini orang yang ‘perkasa’ lagi ‘mulia’.”

Syahadatlah yang telah dipertahankan oleh Bilal ibn Rabah, meski kulitnya dibakar teriknya padang pasir, meski tubuhnya disiksa dengan tindihan batu, imannya tak goyah. Tak pernah sudi mengucap Latta Uzza sebagai Tuhan. Ia tetap mempertahankan imannya meski tubuhnya begitu lemah hingga yang keluar dari lisannya hanyalah kata “Ahad... Ahad...”

Syahadatlah yang dipertahankan oleh Khabab ibn Al Arats, pandai besi yang pernah dipanggang hingga cairan tubuhnya keluar memadamkan bara api. Syahadatlah yang membuat Syuhaib dengan ringan meninggalkan usaha yang telah dirintisnya dari nol sebagai imigran di Mekah. Ia dengan ikhlas berhijrah bersama Rasulullah saw.

Laa ilaaha illallah...
Ilah bermakna sesuatu yang dianggap penting atau sesuatu yang dipentingkan oleh manusia sehingga manusia rela dikuasainya. Jika manusia lebih mementingkan harta meski melanggar aturan-Nya, harta itulah ilah-nya. Ketika manusia lebih mengutamakan kedudukan, kedudukan itulah ilah-nya.

Ilah juga bermakna sesuatu yang dicintai. Ketika manusia lebih mencintai anak istri dan keluarganya di atas kecintaanya kepada Allah, mereka itulah ilah-nya. Ingatlah bagaimana cara Sa’ad ibn Abi Waqqash menghentikan mogok makan yang dilakukan oleh ibundanya. “Bu, seandainya ibu memiliki seratus nyawa, dan ia keluar satu per satu di hadapanku untuk memaksaku meninggalkan keyakinan ini, tidak sekali pun aku akan meninggalkan agama ini selamanya.”

Begitu berat memang membuktikan syahadat yang kita ucapkan. Karena ganjaran yang diberikan kepada manusia yang rela menetapi syahadatnya amatlah agung. Rasulullah bersabda, “Allah akan menghindarkan neraka bagi orang yang mengucapkan kalimat syahadat.”

Asyhadu an laa ilaaha illa... ???
Memang saat ini menjadi hal yang mudah bagi kita untuk mengucapkan syahadat. Tapi tak jarang syahadat itu hanya terlintas di bibir tanpa pernah menggetarkan dinding nurani yang sebenarnya lebih butuh getarannya. Kita mudah sekali berkata, Asyhadu an laa ilaaha illallah, tapi perilaku kita sehari-hari tak jarang bertentangan dengan apa yang kita ucapkan.

Seorang pelajar atau mahasiswa tak segan-segan melakukan kecurangan saat ujian. Seolah tanpa rasa berdisa membawa kertas contekan atau melihat jawaban teman di sebelahnya. Mereka tahu bahwa Tuhan memerintahkan mereka untuk berlaku jujur. Mereka tahu bahwa berbuat curang itu melanggar larangan-Nya. Tapi mereka yang mungkin saja tiap tahiyat selalu melantunkan kalimat syahadat, selalu mengatakan bahwa ia bersaksi bahwa tiada sesembahan yang layak disembah selain Allah, tapi perilakunya menunjukkan mereka tak takut melawan perintah-Nya. Lidahnya bersaksi tiada Tuhan yang layak disembah, dipatuhi, dicintai, diutamakan, tapi kenyataannya mereka dengan berani melanggar apa yang dilarang-Nya. Mereka lebih takut dapat nilai buruk daripada takut kepada Allah. Mereka lebih mengutamakan lulus ujian daripada Allah. Mereka lebih malu kepada guru atau dosen mereka daripada malu kepada Allah. Apa yang terucap dari lisannya tak jarang bertentangan dengan apa yang ‘terucap’ dari perilakunya sehari-hari. Lisannya bisa saja mengucap dengan tegas, Asyhadu an laa ilaaha illallah, tapu perilakunya seolah berucap, Asyhadu an laa ilaaha illa lulus ujian, nilai A, nilai seratus. Lidahnya bisa saja mengucap tiada Tuhan yang layak disembah, diutamakan, kecuali Allah, tapi dengan jelas sikapnya mengatakan tiada Tuhan yang layak disembah, diutamakan, selain prestasi akademis, ijazah, juara kelas, gelar sarjana.

Seorang karyawan lebih takut kepada atasannya daripada kepada Tuhannya. Ketika ia tahu bahwa apa yang dilakukan dan diperintahkan atasannya bertentangan dengan apa yang diperintahkan oleh Allah, ia hanya bisa bungkam. Ia hanya bisa patuh. Karena risiko dipecat lebih ia takuti daripada risiko akhirat yang akan ia tanggung. Ketika ia tahu bahwa kebijakan perusahaannya akan merugikan banyak pihak, ia tak berani membantah. Ketika ia tahu tindakan yang dilakukan perusahaannya adalah bentuk kezaliman, ia tak berani berkutik. Ia hanya manggut-manggut atas segala yang diputuskan atasan. Ia hanya memilih menjalankan apa yang telah diperintahkan kepadanya, meskipun harus mendustai nuraninya, melanggar perintah Tuhannya, melawan aturan agamanya. Ia tak peduli apakah yang dilakukan oleh perusahaannya itu akan menjerumuskan hak orang lain. Ia acuh tak acuh apakah yang dilakukan perusahaannya itu menindas kaum lemah. Yang ia tahu, ia harus patuh pada atasannya. Syahadat yang terucap di lidahnya memang Asyhadu an laa ilaaha illallah, tapi persaksian yang muncul dari perilakunya adalah Asyhadu an laa ilaaha illa bos, illa atasan, illa kebijakan perusahaan. Lidahnya bisa saja mengucap tiada Tuhan yang layak disembah, diutamakan, dipentingkan, selain keuntungan perusahaan, selain perintah bos, perintah atasan.

Para abdi negara pun dengan mudah bersaksi Asyhadu an laa ilaaha illallah, tapi persaksian yang muncul dari perilakunya tak jarang Asyhadu an laa ilaaha illa jabatan, illa uang, illa selamet korupsinya. Ia rela mengorbankan hak rakyat demi menggendutkan perutnya. Ia rela mengorup uang rakyat yang memilihnya demi memenuhi mulut rakusnya. Ia rela mengambil kebijakan-kebijakan bejat yang bukannya menyejahterakan, malah menindas dan menyengsarakan rakyat. Ia tak segan-segan memperjualbelikan keadilan, memakelarkan kebijakan, melacurkan undang-undang. Bahkan tak jarang rasa malunya pun digadaikan demi melayani kepentingan koalisinya, kepentingan kelompoknya, kepentingan partainya. Tak usah bingung menyaksikan wakil rakyat adu jotos, saling lempar buku, palu, kursi, microfon. Tak peduli ratusan juta rakyat yang diwakilinya sedang bertepuk tangan dan menertawakannya di depan layar televisi. Mari kita maklumi sikap mereka. Karena mereka telah membarter rasa malunya dengan uang, jabatan, kepentingan, kekuasaan. Dan ketika manusia tak lagi punya rasa malu, sikapnya tak jauh dari kanak-kanak atau penghuni RSJ (Rumah Sakit Jiwa).

Asyhadu an laa ilaaha illallah bukan hanya di lisan, tapi justru penjelmaan kalimat itu di perilaku keseharian, itu yang utama. Andaikan syahadat hanya untuk diucap lisan, cukuplah anak kita yang masih bermain di playgroup atau taman kanak-kanak bisa mengucapkannya dengan fasih. Andaikan ber-Islam hanya dibutuhkan persaksian lisan, burung beo pun bisa-bisa punya kesempatan jadi muslim. Ber-Islam-lah secara kaffah, menyeluruh. Jika syahadat telah kita ucap, perilaku sehari-hari layaklah untuk segera kita benahi.

(Tuhan, Maaf, Kami Sedang Sibuk || Ahmad Rifa’i Rif’an : 22-28)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

APA URUSANKU DENGAN DUNIA


“Kalau hidup sekedar hidup, babi hutan juga hidup. Kalau kerja sekedar kerja, kera juga bekerja.” (Buya Hamka)

K
etidaktenangan jiwa sering kali karena kita tak pernah berhenti membandingkan diri dengan orang lain. Membandingkan penghasilan, jabatan, merek HP, kendaraan, rumah, merek tas, pakaian, bahkan popularitas dengan orang lain. Akhirnya, jutaan karunia yang Tuhan hadiahkan untuk kita hanya berlalu begitu saja tanpa rasa syukur.

Padahal, hitunglah anugerah Tuhan, kalkulasikan pemberian Allah setiap saat dalam diri kita, niscaya kita akan menjadi pribadi yang sangat berbahagia. Karena nikmat-Nya bagi kita ternyata tak terhingga.

Dunia yang terus-menerus direguk, bagaikan air laut yang senantiasa diteguk. Makin rakus meminumnya, makin hauslah kita dibuatnya. Makin terbuai kita dalam menikmati dunia, makin tamaklah kita dibuatnya. Ada suatu masa di mana kenikmatan dunia tak terasa. Akan datang hari di mana kesengsaraan dunia dirasakan.

Kelak, pada hari kiamat akan didatangkan orang yang paling senang hidupnya di dunia dari kalangan penghuni neraka. Kemudian ia dicelupkan ke neraka sekali celup, lalu dikatakan padanya, “Wahai anak Adam, apakah engkau pernah merasakan kesenangan ketika di dunia dahulu?” Ia menjawab, “Tidak, demi Allah wahai Rabb-ku.” Lalu didatangkan orang yang paling sengsara hidupnya di dunia dari kalangan penghuni surga. Kemudian ia dicelupkan ke surga sekali celup, lalu dikatakan padanya, “Wahai anak Adam, apakah engkau pernah merasakan kesusahan atau penderitaan ketika di dunia dahulu?” Ia menjawab, “Tidak, demi Allah, aku tidak pernah merasakan kesusahan atau penderitaan sedikit pun.” (HR. Muslim)

“Sungguh aku benar-benar dapat mengenali kecintaan seseorang terhadap dunia dari cara penghormatannya kepada ahli dunia.” (Sufyan ats-Tsauri)

Tiga Hal yang Boleh Dibandingkan
Kalau kita masih suka membandingkan diri dengan orang lain terkait harta, gelar, gaji, kedudukan, maka jangan pernah bermimpi untuk bahagia. Sebab, kebahagiaan hanya hadir saat kita mensyukuri karunia Tuhan, menikmati hidup, tanpa mengukurnya dari persepsi orang lain.

Hanya tiga hal yang boleh dibandingkan dengan orang lain:
  • Tekunnya ibadah
  • Besarnya manfaat
  • Dalamnya ilmu.

Jika ada yang lebih tekun ibadahnya, lebih luas manfaatnya, dan lebih dalam ilmunya, maka berlombalah dengannya. Jika ada orang yang lebih ikhlas pengabdiannya pada Tuhan, lebih hebat kontribusinya pada sesama, dan lebih semangat dalam menimba bermacam pengetahuan, maka putuskan untuk berkompetisi dengannya. Jangan mau ketinggalan dengan orang itu. Saingi mereka. Irilah pada mereka. Karena rasa iri kepada orang baik, adalah sebuah keutamaan.

Selain tihal hal itu, syukuri yang telah kita peroleh. Nikmatilah hidup. Semoga dengan cara ini Allah membahagiakan jiwa kita. Terlalu berambisi mengumpulkan dunia dan terus-menerus membandingkan dengan perolehan orang lain hanyalah akan memperbudak diri dalam keserakahan. Tidak mau kalah dengan orang yang lebih banyak hartanya, lebih tinggi pangkatnya, lebih cemerlang kariernya, lebih tinggi popularitasnya, lebih hebat kekuasaannya, hanyalah akan menyita usia kita dalam ketamakan yang tak berujung. Jangan pernah bercita meraih ketenangan dan kebahagiaan hidup ketika kita masih suka menempatkan kebahagiaan kita di bawah bayang-bayang keberhasilan orang lain.

Yang kita butuhkan bukan harta, bukan jabatan, bukan popularitas. Untuk tetap merasakan kebahagiaan d dunia yang sudah carut marut ini, yang lebih kita butuhkan adalah kedekatan dengan Tuhan. Segala kekurangan yang justru membuatmu lebih dekat dengan Tuhan, hakikatnya adalah anugerah. Segala keberlimpahan yang justru membuatmu jauh dari Tuhan, hakikatnya adalah musibah. Masalah terbesar dalam hidup bukanlah kekurangan harta atau kehilangan kehormatan di hadapan sesama. Masalah terbesar adalah di saat cinta Tuhan tak lagi singgah pada diri kita.

Dengan sindiran yang cukup telak, Buya Hamka pernah menasehatkan, “Kalau hidup sekadar hidup, babi hutan juga hidup. Kalau kerja sekadar kerja, kera juga bekerja.” Dengan perumpaan babi hutan dan kera, Buya Hamka seolah menuturkan, bahwa jika kualitas hidup kita hanya sekadar menjalani hidup mangalir tanpa punya makna, maka apalah beda kita dengan babi hutan yang selama ini kita rendahkan. Jika tiap hari kita bekerja dan bekerja hanya untuk mencukupi kebutuhan hidup tanpa ada tujuan yang lebih tinggi, apalah beda kita dengan kera yang tiap hari juga bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.

Hidup bukan sekadar untuk makan, dan makan bukan hanya sekadar untuk hidup. Kita tercipta sebagai makhluk sempurna, yang oleh Allah diamanahi tugas mulia sebagai khalifah di muka bumi. Ini adalah tugas besar yang hanya mampu diemban oleh manusia. Jadikan hidup ini sebagai perjalanan panjang untuk menjadi pemakmur bumi. Kita hidup untuk mempersembahkan pangabdian terbaik kita pada-Nya, kita menebar seluas mungkin manfaat bagi sesama, dan menjadikannya sebagai bekal untuk menempuh perjalanan yang lebih hakiki. Yakni perjalanan menuju kehidupan yang abadi.

(Tuhan, Maaf, Kami Sedang Sibuk || Ahmad Rifa’i Rif’an : 17-21)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

PENGADILAN TUHAN

O
h, betapa malangnya diri, yang ketika di dunia begitu disanjung dan dipuja oleh sesama, padahal di hadapan Allah, dia rusak dan penuh nista. Betapa menyesalnya diri yang ketika di dunia sangat suka menjaga penampilan dan citra, padahal di sisi Allah dia dicerca dan dimurka.

Betapa banyak dari kita yang sangat menjaga image dan citra di hadapan manusia, namun dalam sunyi, tanpa rasa malu bermaksiat di hadapan Tuhan. Betapa seringnya kita menjadi manusia yang sangat menjaga diri di hadapan sesama. Kita tampilkan diri sebagai pribadi yang sangat sempurna, sangat baik, dan penuh wibawa. Namun ketika sendiri, baru terbongkar siapa diri kita sebenarnya. Kita merasa aman, kita merasa tak ada satu pun orang yang tahu bahwa kita tercela. Padahal Allah Mahamelihat. Dan kelak pasti datang satu masa di mana seluruh makhluk akan menyaksikan siapa diri kita yang sebenarnya.

Iyauma nakhtimu ‘alaa afwaahihim watukallimunaa aidiihim wa tasyhadu arjuluhum bimaa kaanuu yaksibuun. Rasanya, ayat di surah Yasin ini sudah cukup untuk menjadi penasehat abadi. Pada hari itu, mulutmu terkunci, hingga tak akan ada dalih dan kebohongan apa pun yang bisa kau lontarkan. Mulutmu tertutup, sehingga tak bisa lagi mendustai siapa pun sebagaimana yang kau lakukan selama di dunia. Mulutmu tak bisa membicarakan kebaikanmu dan menutupi cacat dan lemahmu sebagaimana yang selama ini kau lakukan di dunia. Pada hari itu, hanya tangan dan kakimu yang akan berbicara, mempersaksikan seluruh tingkah lakumu di dunia, sejak baligh, hingga ajalmu.


 “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.” (QS. Yasin: 56)

Saat ini kita sangat mudah menjumpai pengadilan yang jauh dari keadilan di negeri ini. Betapa banyak kezaliman yang timbul dari beberapa keputusan hukum yang sangat tajam kepada kaum bawah, sementara sangat tumpul kepada golongan atas. Mencuri beberapa buah semangka atau beberapa kilogram karet mentah bisa langsung diganjar hukuman penjara beberapa tahun. Sementara koruptor yang merampok uang negara miliaran bahkan triliunan rupiah bebas melenggang di negeri ini. Negeri ini memang kehilangan rasa keadilan. Hukum sangat tegas bagi kaum miskin tetapi sangat hati-hati jika menimpa kaum kaya dan berkuasa.

Namun ketahuilah, jika pengadilan manusia kadang bisa dimanipulasi, tetapi pengadilan Allah tak akan bisa. Karena Dialah Zat yang Mahamelihat, Maha Mengetahui segala tingkah  dan perbuatan seluruh umat manusia. Tidak ada yang mampu menyuap malaikat, sang petugas yang kejujurannya tak perlu lagi diragukan. Tak ada yang bisa membohongi pengadilan Mahsyar.

Marilah kita berhati-hati terhadap pengetahuan Allah yang tiada batasnya. Saat kita sendiri, hakikatnya kita tak sendiri. Karena ada Allah yang maha menyaksikan segala apa yang kita perbuat. Perasaan yang selalu merasa kehadiran Allah dekat dengan kita itulah yang berpotensi menjauhkan kita dari keberanian melanggar larangan-Nya. Kita tidak lagi menakutkan pengadilan manusia yang paling berat – hukuman mati. Yang kita takutkan adalah pengadilan Allah yang dampaknya bisa jadi berbuntut siksaan sepanjang masa dan tak ada hentinya.

Ketika kita memiliki rasa diawasi selalu oleh Allah, kita malu pada-Nya ketika waktu dan usia yang sudah dikaruniakan-Nya bagi kita justru kita isi dengan hal-hal yang sia-sia, bahkan perbuatan yang dilarang-Nya. Kita malu pada-Nya. Kita tak lagi peduli pandangan manusia pada kita. Karena pendapat sesama hanyalah pendapat subjektif yang tidak menentukan baik buruknya kita. Pandangan Allah pada kitalah pandangan objektif. Jika dalam pandangan-Nya kita baik, maka baiklah kita.

Pengadilan Tuhan tidak bisa dimanipulasi dan disogok. Pengadilan Mahsyar tak akan bisa diintervensi dengan kekuasaan apa pun. Dalam pengadilan itu, dipertontonkan dengan sangat detail tentang segala perbuatan baik dan buruk yang sudah kita kerjakan. Bayangkan, seluruh manusia dikumpulkan dalam satu tempat dan di depannya dipersaksikan seluruh perjalanan hidup masing-masing kita dengan sangat detail. Seluruh aib yang selama ini kita tutupi tiba-tiba terbongkar tanpa tedeng aling-aling. Seluruh ke-jaim-an kita pada hari itu tiada gunanya. Karena Allah mempertontonkan di hadapan seluruh manusia tentang siapa dan bagaimana kita sebenarnya.

Oh, betapa malunya diri, yang selama di dunia dengan penuh wibawa tampil di hadapan khalayak, tetapi dalan kesendirian, justru merasa aman dengan dosa-dosanya. Oh, betapa malangnya diri, yang ketika di dunia disanjung dan dipuja oleh sesama, padahal di hadapan Allah, dia rusak dan penuh nista. Betapa menyesalnya diri yang ketika di dunia sangat suka menjaga penampilan dan citra, padahal di sisi Allah dia dicerca dan dimurka.

Pengadilan Tuhan adalah pengadilan yang benar-benar adil. Di sana akan muncul dua golongan, yakni golongan kanan dan kiri. Bagi golongan kiri, maka siksaaan adalah balasan atas segala kelakuan buruk yang sudah dikerjakannya selama di dunia. Sedangkan bagi golongan kanan, maka kenikmatan surga adalah balasan atas segala kebaikannya yang sudah dilakukannya di dunia.

Sahabatku, kini, kita masih diberi kesempatan untuk memilih. Kini, kita masih dipercayai oleh Tuhan untuk memperbaiki diri. Memilih menjadi golongan manusia yang malang, menyesal, dan meratapi hidupnya di dunia, atau justru menjadi golongan manusia yang puas dengan kebaikan yang sudah dikerjakan saat hidup. Kita masih punya kesempatan untuk memilih, menjadi orang yang hanya dipuja oleh sesama namun dimurka oleh Tuhan, atau menjadi orang yang di mata manusia terhormat, dalam pandangan Allah berlimpah rahmat?

Hari ini, sebelum beranjak tidur di malam hari, sejenak tanyakan pada diri:
  • Andaikan ini tidur terakhirku, sudah siapkah aku menghadap Tuhan dengan diri saat ini?
  • Andaikan ini hari terakhirku, dosa apa yang sangat ingin aku mintakan ampun pada-Nya?
  • Andaikan ini hari terakhirku, amalan apa yang aku yakin sanggup menyelamatkanku di alam Barzah?
  • Andaikan ini hari terakhirku, karakter apa dalam diriku yang membuat Tuhan mencurahkan rahmat-Nya padaku?

Mari pejamkan mata sejenak, merenungkannya dalam-dalam. Lalu beristirahatlah. Semoga esok Tuhan masih berkenan memberi kita tambahan umur untuk memperbaiki diri. Jantung yang terus berdetak adalah nasihat bahwa pernjalanan menuju kubur tak kenal libur. Sekolah, kuliah, kerja boleh saja libur, tapi tetaplah ingat bahwa usia kita tak pernah libur. Meski hari libur, hindari bermalas diri.

Tetaplah produktif dalam berkarya dan beribadah. Lalu kapan istirahatnya? Percayalah. Tempat istirahat terbaik adalah surga.

(Tuhan, Maaf, Kami Sedang Sibuk || Ahmad Rifa’i Rif’an : 11-16)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0