“Syahadat
yang terucap di lidahnya memang ‘Asyhadu an laa ilaaha illallah’, tapi
persaksian yang muncul dari perilakunya justru ‘Asyhadu an laa ilaaha
illa-uang, illa-bos, illa-atasan. Illa-kebijakan perusahaan, illa-pangkat, illa-popularitas.”
S
|
yahadat, begitu sulitkah
mempertahankannya? Jika pengucapannya hanya dilisan, mungkin mudah. Namun
permasalahannya adalah seauh mana pemahaman kita mengenai makna kalimat
syahadat. Di zaman Rasulullah saw., masayarakat Arab paham betul makna
syahadat. Sehingga ketika Rasulullah mengumpulkan pemimpin-pemimpin Quraisy
dari kalangan Bani Hasyim, Rasulullah bertanya, “Wahai saudaraku, maukah kalian aku beri kalimat, di mana dengan
kalimat itu kalian dapat menguasai seluruh jazirah Arab?” Dengan tegas Abu
Jahal menjawab, “Jangankan satu kalimat,
sepuluh kalimat pun aku terima.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Ucapkanlah Laa ilaaha illallah Muhammadan
Rasulullah.” Bagaimana reaksi Abu Jahal setelah mendengar kalimat itu? “Kalau itu kalimat yang engkau minta,
berarti engkau telah mengumandangkan peperangan dengan semua orang Arab dan
bukan Arab.”
Ya, Abu Jahal paham betul tentang makna
syahadat. Ia paham bahwa ketika ia bersedia mengucapkan dua kalimat syahadat,
konsekuensinya ia harus menerima segala aturan yang ditetapkan dalam Islam.
Maka dengan tegas Abu Jahal menolaknya.
Abu Jahal, sang penentang dakwah,
bukanlah orang bodoh di zamannya. Bahkan Abu Jahal adalah salah satu di antara
sedikit penduduk Mekah yang pandai baca tulis. Ia fasih dalam sastra, banyak
harta, hidup elegan, dan berotak cerdas. Namun karena pengingkarannya kepada
Allah, semua kelebihannya itu sama sekali tak bermakna. Bahkan ketika ia
menyombongkan diri sebagai ‘aziizul
kariim, orang perkasa lagi mulia, Allah justru menyerahkan kematiannya
kepada dua bocah Anshar ‘ingusan’ dan ‘Abdullah ibn Mas’ud, gembala yang dulu
sering dihajarnya. Di akhirat, Allah memberi hidangan zaqqum di Jahannam, seraya memfirmankan ejekan kepadanya seperti
yang diabadikan dalam surah Ad-Dukhan ayat 49, “Rasakanlah, sesungguhnya kamu ini orang yang ‘perkasa’ lagi ‘mulia’.”
Syahadatlah yang telah dipertahankan
oleh Bilal ibn Rabah, meski kulitnya dibakar teriknya padang pasir, meski
tubuhnya disiksa dengan tindihan batu, imannya tak goyah. Tak pernah sudi
mengucap Latta Uzza sebagai Tuhan. Ia tetap mempertahankan imannya meski
tubuhnya begitu lemah hingga yang keluar dari lisannya hanyalah kata “Ahad... Ahad...”
Syahadatlah yang dipertahankan oleh
Khabab ibn Al Arats, pandai besi yang pernah dipanggang hingga cairan tubuhnya
keluar memadamkan bara api. Syahadatlah yang membuat Syuhaib dengan ringan
meninggalkan usaha yang telah dirintisnya dari nol sebagai imigran di Mekah. Ia
dengan ikhlas berhijrah bersama Rasulullah saw.
Laa
ilaaha illallah...
Ilah
bermakna sesuatu yang dianggap penting atau sesuatu yang dipentingkan oleh
manusia sehingga manusia rela dikuasainya. Jika manusia lebih mementingkan
harta meski melanggar aturan-Nya, harta itulah ilah-nya. Ketika manusia lebih mengutamakan kedudukan, kedudukan
itulah ilah-nya.
Ilah
juga bermakna sesuatu yang dicintai. Ketika manusia lebih mencintai anak istri
dan keluarganya di atas kecintaanya kepada Allah, mereka itulah ilah-nya. Ingatlah bagaimana cara Sa’ad
ibn Abi Waqqash menghentikan mogok makan yang dilakukan oleh ibundanya. “Bu, seandainya ibu memiliki seratus nyawa,
dan ia keluar satu per satu di hadapanku untuk memaksaku meninggalkan keyakinan
ini, tidak sekali pun aku akan meninggalkan agama ini selamanya.”
Begitu berat memang membuktikan syahadat
yang kita ucapkan. Karena ganjaran yang diberikan kepada manusia yang rela
menetapi syahadatnya amatlah agung. Rasulullah bersabda, “Allah akan menghindarkan neraka bagi orang yang mengucapkan kalimat
syahadat.”
Asyhadu
an laa ilaaha illa... ???
Memang saat ini menjadi hal yang mudah
bagi kita untuk mengucapkan syahadat. Tapi tak jarang syahadat itu hanya
terlintas di bibir tanpa pernah menggetarkan dinding nurani yang sebenarnya
lebih butuh getarannya. Kita mudah sekali berkata, Asyhadu an laa ilaaha illallah, tapi perilaku kita sehari-hari tak
jarang bertentangan dengan apa yang kita ucapkan.
Seorang pelajar atau mahasiswa tak
segan-segan melakukan kecurangan saat ujian. Seolah tanpa rasa berdisa membawa
kertas contekan atau melihat jawaban teman di sebelahnya. Mereka tahu bahwa
Tuhan memerintahkan mereka untuk berlaku jujur. Mereka tahu bahwa berbuat
curang itu melanggar larangan-Nya. Tapi mereka yang mungkin saja tiap tahiyat selalu melantunkan kalimat
syahadat, selalu mengatakan bahwa ia bersaksi bahwa tiada sesembahan yang layak
disembah selain Allah, tapi perilakunya menunjukkan mereka tak takut melawan
perintah-Nya. Lidahnya bersaksi tiada Tuhan yang layak disembah, dipatuhi,
dicintai, diutamakan, tapi kenyataannya mereka dengan berani melanggar apa yang
dilarang-Nya. Mereka lebih takut dapat nilai buruk daripada takut kepada Allah.
Mereka lebih mengutamakan lulus ujian daripada Allah. Mereka lebih malu kepada
guru atau dosen mereka daripada malu kepada Allah. Apa yang terucap dari
lisannya tak jarang bertentangan dengan apa yang ‘terucap’ dari perilakunya
sehari-hari. Lisannya bisa saja mengucap dengan tegas, Asyhadu an laa ilaaha illallah, tapu perilakunya seolah berucap, Asyhadu an laa ilaaha illa lulus ujian,
nilai A, nilai seratus. Lidahnya bisa saja mengucap tiada Tuhan yang layak disembah, diutamakan, kecuali Allah, tapi
dengan jelas sikapnya mengatakan tiada
Tuhan yang layak disembah, diutamakan, selain prestasi akademis, ijazah, juara
kelas, gelar sarjana.
Seorang karyawan
lebih takut kepada atasannya daripada kepada Tuhannya. Ketika ia tahu bahwa apa
yang dilakukan dan diperintahkan atasannya bertentangan dengan apa yang
diperintahkan oleh Allah, ia hanya bisa bungkam. Ia hanya bisa patuh. Karena risiko
dipecat lebih ia takuti daripada risiko akhirat yang akan ia tanggung. Ketika ia
tahu bahwa kebijakan perusahaannya akan merugikan banyak pihak, ia tak berani
membantah. Ketika ia tahu tindakan yang dilakukan perusahaannya adalah bentuk
kezaliman, ia tak berani berkutik. Ia hanya manggut-manggut atas segala yang diputuskan
atasan. Ia hanya memilih menjalankan apa yang telah diperintahkan kepadanya,
meskipun harus mendustai nuraninya, melanggar perintah Tuhannya, melawan aturan
agamanya. Ia tak peduli apakah yang dilakukan oleh perusahaannya itu akan
menjerumuskan hak orang lain. Ia acuh tak acuh apakah yang dilakukan
perusahaannya itu menindas kaum lemah. Yang ia tahu, ia harus patuh pada
atasannya. Syahadat yang terucap di lidahnya memang Asyhadu an laa ilaaha illallah, tapi persaksian yang muncul dari
perilakunya adalah Asyhadu an laa ilaaha
illa bos, illa atasan, illa kebijakan perusahaan. Lidahnya bisa saja
mengucap tiada Tuhan yang layak disembah,
diutamakan, dipentingkan, selain keuntungan perusahaan, selain perintah bos,
perintah atasan.
Para abdi negara pun dengan mudah
bersaksi Asyhadu an laa ilaaha illallah,
tapi persaksian yang muncul dari perilakunya tak jarang Asyhadu an laa ilaaha illa jabatan, illa uang, illa selamet korupsinya.
Ia rela mengorbankan hak rakyat demi menggendutkan perutnya. Ia rela mengorup
uang rakyat yang memilihnya demi memenuhi mulut rakusnya. Ia rela mengambil
kebijakan-kebijakan bejat yang bukannya menyejahterakan, malah menindas dan
menyengsarakan rakyat. Ia tak segan-segan memperjualbelikan keadilan,
memakelarkan kebijakan, melacurkan undang-undang. Bahkan tak jarang rasa
malunya pun digadaikan demi melayani kepentingan koalisinya, kepentingan
kelompoknya, kepentingan partainya. Tak usah bingung menyaksikan wakil rakyat
adu jotos, saling lempar buku, palu, kursi, microfon. Tak peduli ratusan juta
rakyat yang diwakilinya sedang bertepuk tangan dan menertawakannya di depan
layar televisi. Mari kita maklumi sikap mereka. Karena mereka telah membarter
rasa malunya dengan uang, jabatan, kepentingan, kekuasaan. Dan ketika manusia
tak lagi punya rasa malu, sikapnya tak jauh dari kanak-kanak atau penghuni RSJ
(Rumah Sakit Jiwa).
Asyhadu
an laa ilaaha illallah bukan hanya di lisan, tapi justru
penjelmaan kalimat itu di perilaku keseharian, itu yang utama. Andaikan syahadat
hanya untuk diucap lisan, cukuplah anak kita yang masih bermain di playgroup
atau taman kanak-kanak bisa mengucapkannya dengan fasih. Andaikan ber-Islam
hanya dibutuhkan persaksian lisan, burung beo pun bisa-bisa punya kesempatan
jadi muslim. Ber-Islam-lah secara kaffah,
menyeluruh. Jika syahadat telah kita ucap, perilaku sehari-hari layaklah untuk
segera kita benahi.
(Tuhan,
Maaf, Kami Sedang Sibuk || Ahmad Rifa’i Rif’an : 22-28)