T
|
antrum merupakan bagian dari proses
perkembangan fisik, kognitif dan emosi anak. Perilaku ini sebenarnya tergolong
normal dan pasti akan berakhir. Namun jika keliru menyikapinya, kita akan
kehilangan kesempatan baik untuk mengajarkan anak tentang bagaimana caranya
bereaksi terhadap emosi-emosi yang normal semisal marah, frustasi, takut,
jengkel, secara wajar.
“Emosi sudah menjadi
bawaan setiap manusia. Dalam hal ini agama berfungsi mengendalikannya agar
tidak salah jalan,” jelas Ustadz Tri Asmoro Kurniawan, Konsultan Keluarga
Sakinah dari Solo.
Menurut Ustadz Tri,
demikian ia biasa dipanggil, jika setiap keluarga Muslim memahami cara mendidik
anak sesuai Al-Qur’an dan Sunnah tentu tidak akan keliru menghadapi anaknya
pada fase tersebut.
Pendidikan agama
hendaknya dapat mewarnai kegidupan anak, sehingga benar-benar menjadi bagian
dari pribadinya yang akan menjadi pengendali dalam hidupnya di kemudian hari.
“Selama ini orangtua
hanya fokus pada kecerdasan intelektual anak. Sedang kecerdasan spiritualnya
(agamanya) kurang diperhatikan,” sindir Konsultan Keluarga Nasional &
Pembina Komunitas Keluarga Syariah Solo.
Menurut Ustadz Tri,
kecerdasan spiritual seharusnya mendasari seluruh kecerdasan lainnya. Karena anak
cerdas spiritual, tentu akan cerdas intelektual, emosional dan lainnya. Sementara
anak yang cerdas intelektual belum tentu cerdas secara spiritual.
“Karena itu anak yang
shalih jelas cerdas intelektual lainnya,” tegasnya.
Anak
Shalih Pasti Cerdas
Ia menegaskan bahwa
dalam hadits disebutkan bahwa orangtua cukup mendidik anaknya menjadi anak
shalih. “Sayangnya banyak orang sekarang yang justru salah kaprah,” tegasnya. Ia
kemudian mencontohkan adanya sekolah Islam yang tak puas dengan kata sholeh,
akhirnya membuat moto “mencetak kader Islam yang sholeh, cerdas, kreatif serta
mandiri dalam berkarya”
Padahal, ungkap Ustadz
Tri, kalau kita kembali kepada makna shaleh itu sendiri, sudah mencakup anak
yang cerdas, kreatif, terampil dan sebagainya, yang membawa kepada kebaikan,
akhlakul karimah dan potensi diri.
“Jadi memahami anak
shaleh hanya bisa membaca Al-Qur’an dan rajin shalat ke masjid tapi bodoh dalam
masalah akademis dan keterampilan, itu adalah hal yang salah,” tukasnya.
Pemahaman terhadap
pentingnya agama, menurut penulis buku-buku keluarga ini, harus dimulai pada
anak usia 3-6 tahun, bersamaan dengan fase tantrum terjadi. Karena pada saat
itu anak yang menghayati konsep ketuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan
intelektualnya.
Kehidupan pada masa ini
anak masih dipengaruhi fantasinya hingga dalam menanggapi agama pun masih
menggunakan konsep fantastis yang diliputi oleh dongeng-dongen yang tidak masuk
akal.
“Tujuan dari tahap ini
untuk mempengaruhi tingkat emosi dan fantasi anak. Sebab ia akan mulai berfikir
tetapi masih menggunakan daya halusinasinya,” terang pendiri Griya Keluarga
Sakinah, Solo ini.
Menurutnya, peranan
pendidikan agama dalam perkembangan anak bertujuan menciptakan pengendali dalam
diri anak agar mampu membina pribadinya ke arah kematangan emosionalnya,
sehingga menjadi manusia yang berakhlak mulia dan mempunyai daya intelektual
yang tinggi.
“Keyakinan pada sang
pencipta adalah hal penting yang harus diberikan kepada anak pada fase tantrum,”
tandasnya.
Ia menjelaskan,
keyakinan akan adanya sang pencipta atau Tuhan sebagai causa prima sangat
membantu dalam membentuk pribadi anak yang baik. Jika anak sudah yakin akan
adanya Allah, lebih mudah dinasehati dibanging anak yang tidak punya keyakinan
adanya Tuhan.
Ketika anak emosinya
tinggi misalnya, orangtua bisa mengatakan bahwa Allah tidak suka dengan anak
yang suka marah. Allah senang dengan anak yang baik dan bisa mengendalikan
emosinya.
“Dengan kata-kata
seperti itu anak akan mudah diingatkan. Atau orangtua bisa menyuruh anaknya
membaca ta’awudz agar marahnya hilang,” jelasnya.
Orangtua
Jadi Teladan
Dan yang paling
penting, menurut Ustadz Tri, orangtua harus menjadi teladan anaknya dalam
bersikap dan bertindak. Keduanya merupakan contoh utama dalam perkembangan
watak dan sikap anak. Sementara anak merupakan pengamat dan peniru yang baik.
“Anak akan mengamati
dan menirukan apa yang dilihatnya dalam lingkup keluarga. Orangtua adalah role model bagi mereka,” ungkapnya.
Karena itu ia berperan
agar sebisa mungkin orangtua selalu berusaha bersikap baik dan sopan di depan
anak. Mereka harus sadar bahwa kemarahan anak yang cenderung agresif sebenarnya
dapat disebabkan banyak hal, seperti mencari perhatian, janji pada anak yang
tidak ditepati, dipaksa untuk disiplin, cemburu pada saudara, dan sebagainya.
“Jika orangtua
menyikapi dengan bijak dan lemah lembut, maka anakpun akan menjadi baik hati
dan lemah lembut,” pungkasnya.
(Al
Falah, Edisi Maret 2017 : 8)
0 komentar:
Posting Komentar