(Oleh
: Prof. Dr. Asip F. Hadipranata, Psi)
“Usianya
baru 11 tahun. Sangat lincah dan senang bersenda gurau dengan sebayanya, ia
memiliki keceriaan khas anak kelas V SD. Dia biasa dipanggil Cantiko. Tapi sayang,
Cantiko selalu membuat resah dan membuat malu kedua orangtuanya yang menjadi
pejabat terpandang.”
Si Cantiko punya
kebiasaan buruk, gemar menggoda para tamu yang bertandang ke rumahnya. Bila
tamunya pria berkumis, akan ‘dihadiahi’ sekapan kedua jari tengahnya dari
belakang, yang sebelumnya dioleskan ke (maaf, red) anusnya. Bila yang bertamu
wanita, Cantiko akan memintanya untuk melepas celana dalamnya saat itu juga.
Jika sampai tidak dipenuhi permintaan, Si kecil Cantiko akan menangis
meraung-raung.
Betapa
sedihnya orangtua Cantiko melihat perilaku anaknya. Maka dengan segala upaya,
dicarinya pakar berbagai ilmu, untuk bisa mengatasi kebiasaan jelek putrinya
itu. Mereka mendatangkan berbagai orang yang ahli di bidangnya. Tak terhitung
jumlahnya. Ada pendidik, psikolog, ahli budi pekerti, penyuluh agama, bahkan
para ahli supranatural. Namun, sampai sejauh itu tak menemukan hasil. Bahkan
nyaris tidak terjadi perubahan apapun untuk memperbaiki perilaku buah hatinya.
Seorang
teman, Syahdan namanya, secara kebetulan berhubungan bisnis dengan asisten
orangtua Cantiko. Teman ini berharap saya ikut membantu memecahkan masalah yang
pelik ini. Maka dengan doa yang ikhlas memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,
saya menyanggupi tapi dengan catatan, Cantiko harus menyambut kedatangan saya bersama
kedua orangtuanya. Karena saya pria berkumis, agar tidak dihadiahi ‘petis’ anus
tadi.
Saya
bersyukur dapat mendiagnosis Cantiko. Tidak ada reaksi yang aneh selama
berdekatan dengannya. Dari diagnosis itu dapat disimpulkan bahwa Cantiko adalah
anak adopsi, bukan anak kandung dari kedua orang yang selama ini mengasuhnya.
Mendengar
kesimpulan itu, orangtua Cantiko kaget dan berusaha keras menyangkalnya. Tapi
saya tetap yakin hasil pengamatan dari berbagai sudut pandang psikologi.
Diantaranya, saya tidak melihat kesamaan goresan grafis antara anak tersebut
dengan ayahnya, bahkan ibunya. Setelah saya desak, akhirnya mereka mengakuinya.
Mereka sadar dan mau membuka diri demi kesembuhan putrid tercintanya. Tanpa
diminta sekalipun, kedua orangtua tersebut menunjukkan bukti surat adopsi.
Dalam salah satu klausul di surat itu disebutkan bahwa Cantiko adalah anak di
luar nikah.
Maka
saya pun menemukan kesimpulan susulan. Yaitu, Cantiko adalah anak ‘pelari
jauh’. Artinya, hasil tabrak lari dan ditinggal pergi jauh oleh bapaknya entah
kemana. Setelah saya telusuri lebih jauh riwayat hidup Cantiko, ternyata ibu
kandungnya tinggal di Kalimantan Barat dan dapat dihubungi via telepon.
Beberapa
waktu kemudian saya mencoba mengkonfirmasi lebih jauh. Dan terkuaklah sebuah
rahasia kekerasan seksual. Ibu si Cantiko ternyata pernah diperkosa dengan
disobek celana dalamnya oleh seorang lelaki berkumis.
Data
tambahan yang menyedihkan berikutnya adalah, Cantiko disayang ibunya dalam
rahim hanya sekitar 2 sampai 3 bulan. Selebihnya ingin digugurkan tetapi tidak
pernah berhasil. Begitulah hingga akhirnya dia hadir ke dunia dengan membawa
beban psikologi yang sangat berat. Pengalaman pahit sejak awal pembuahan, dan
selama di dalam rahim ibunya, menjadi latar belakang munculnya kebiasaan aneh
yang kelewat batas.
Setelah
penyebab utama perilaku aneh itu terungkap, maka saya menyodorkan beberapa
solusi yang harus dilakukan kedua orangtua angkatnya secara simultan. Pertama,
sebelum tidur, Cantiko harus ditenangkan hatinya. Kedua, setelah tertidur lelap
dengan indikasi kedua bola matanya tenang tidak bergerak-gerak, kedua orangtua
angkatnya harus mengapitnya dalam satu tempat tidur supaya Cantiko merasa
terlindungi. Kemudian, sambil berdampingan, mereka harus membisikkan beberapa
kata permintaan maaf, meski dia tertidur pulas. Karena ‘ruhnya’ tetap bisa
mendengar.
Permintaan
maaf itu misalnya, bapak angkat memintakan maaf ayah kandung Cantiko, dan
sanggup menyayangi Cantiko seperti anak kandungnya sendiri. Begitu pun ibu
angkat memintakan maaf ibu kandung Cantiko yang dulu pernah berniat
menggugurkan dirinya.
Ketiga,
semua itu harus dilakukan secara kontinyu selama 7 bulan. Mengapa 7 bulan?
Karena selama waktu dalam kandungan, Cantiko tidak mendapat kasih sayang dalam
buaian ibu kandungnya. Saya ingin mengganti masa yang hilang itu terpenuhi
kembali, agar jiwa Cantiko pulih sebagaimana manusia normal. Disayang sejak di
dalam kandungan, dan dilahirkan kembali, suci, bersih perangainya.
Keajaiban
terjadi setelah 7 bulan berjalan, Cantiko berubah. Tabiat anehnya
berangsur-angsur hilang. Suatu ketika, tanpa sengaja, saya bertemu ibu angkat
Cantiko dalam penerbangan dari Jakarta menuju Yogyakarta. Sang ibu duduk di
bangku bisnis. Tiba-tiba dia berjalan ke belakang mendekati saya. Tahu-tahu dia
mencium lutut saya, sebelum sempat saya menolaknya. Sang ibu bercerita bahwa
sekarang Cantiko sudah kuliah dan punya prestasi yang bagus karena rajin
belajar. Selain itu, dia tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik dan lincah.
Dan, ia selalu dikelilingi kawan-kawan karena keceriaannya.
Selamat dan sukses untuk Cantiko.
(Parahita
News Edisi Mei – Juni 2012 : 24 - 25)
0 komentar:
Posting Komentar