“Kisah
imajiner yang semoga menginspirasi para orang tua terutama para ayah.”
Saat
itu saya datang dari kantor agak malam, banyak pekerjaan yang harus saya
selesaikan hari itu. Maklumlah hari itu, Senin. Rumah yang biasanya ramai
dengan tingkah polah anak kami, Aisyah, dan biasanya mainannya berserakan
dimana-mana, sekarang begitu sepi dan sudah bersih. Istri tercinta sudah tidur
pulas. Mungkin dia capek mengurus rumah, juga capek mengurus anak kami.
Untuk
lebih menyegarkan badan, saya langsung mandi kemudian shalat dan rencana juga
langsung mau tidur. Tapi sebelum tidur, saya coba lihat Aisyah yang sudah
tertidur pulas. Wajah polos tanpa dosa. Ketika saya lihat Aisyah, betapa kaget
saya ketika ada bekas cubitan yang agak membiru di tangan kanannya. Saya
teringat ketika tadi pagi Aisyah yang baru berumur 7 tahun main di teras rumah
dan tiba-tiba berusaha menyeberang jalan. Kebetulan rumah kami dipinggir jalan
raya. Takut terjadi sesuatu, saya reflek berlari dari ruang tamu untuk
mencegahnya menyeberang. Saya langsung mencubitnya dengan harapan agar dia
tidak mengulanginya lagi. Saya juga teringat ketika dia menangis dan langsung
berlari kearah ibunya.
Waktu
saya mau berangkat ke kantor, Aisyah tidak mau saya peluk dan cium. Dia terus
saja menempel dengan ibunya. Ya Allah, Saya tahu bahwa itu tindakan bodoh yang
saya lakukan. Saya tahu, bahwa luka dibadannya suatu saat pasti akan hilang,
tapi tidak dengan luka hatinya. Meskipun saya waktu itu berdalih bahwa itu
sebagai rasa sayang saya kepada anak kami. Maafkan ayah ya nak, ayah khilaf.
Mestinya ayah tidak menggunakan tangan ini untuk mencubitmu atau memukulmu nak.
Malam
itu entah kenapa mata ini sulit sekali dipejamkan. Satu persatu kejadian
bersama anak kami melintas didepan mata. “Ayah nanti kalau pulang gak capek ya?”,
begitu dia selalu bertanya kepada saya sebelum melanjutkan permintaannya. Dan
saya pasti menjawab, “Tidak sayang, memang nanti kalau ayah pulang mau ngapain?”
Lalu ia berkata “Nanti ajak Aisyah jalan-jalan ke taman bunga ya yah, khan
sudah lama nggak kesana?” Saya langsung jawab : “Oke, tunggu ayah ya.”
Saat
itu saya lupa kalau hari itu ada meeting dikantor. Waktu saya pulang, Aisyah
sudah tidur. Istri saya memberitahukan bahwa dari tadi Aisyah tidak mau tidur,
malah minta dibikinin kopi, nunggu saya katanya. Duh ya Allah, pembelajaran
buruk sudah saya lakukan buat Aisyah. Saya tidak menepati janji padanya. Saya
juga tidak memberitahukan dia kalau saya berhalangan. Saya telah mengajarkan
untuk mengingkari janji itu tidak apa-apa, saya mengajari juga untuk tidak
komitmen.
Suatu
saat saya baru datang dari luar kota, saya mau istirahat dan tidak mau
diganggu, saya bilang istri kalau ada tamu tolong bilang saya nggak ada, atau
saya lagi keluar atau kemanalah yang penting saya tidak terganggu hari itu.
Kebetulan anak kami, Aisyah, mendengar percakapan kami. Dengan gayanya yang
khas dia bertanya, “Bu, katanya tidak boleh bohong, koq ayah bohong?” Saya
seperti disambar petir waktu itu. Kesalahan fatal yang saya buat kembali.
Mengajarkan berbohong.
Bulan
lalu kantor memberikan fasilitas blackberry buat saya. Agar komunikasi dan
keputusan penting bisa langsung diputuskan saat itu. Tapi lagi-lagi barang
membuat saya semakin jauh dengan keluarga. Pada saat dirumah ketika anak kami
sibuk dengan mainannya, saya sibuk dengan memberikan komentar bbm teman dan
kolega yang tidak sangat penting sekali. Pada saat istri butuh untuk bicara
mengenai suatu hal, saya hanya menjawab sekenanya. Badan saya dirumah, tapi
hati dan pikiran saya entah berada dimana.
Malam
sudah larut. Saya pandangi wajah anak saya, rasa bersalah semakin besar.
Maafkan ayah nak, ayah berjanji mulai mala mini akan selalu menepati janji ayah
dan kalau ayah tidak bisa, ayah akan memberitahumu nak. Mulai malam ini juga
ayah akan menjadi teladanmu nak. Ayah tahu bahwa satu kali perbuatan itu lebih
baik daripada seribu kali kata-kata. Mala mini juga ayah akan matikan BB ayah
apabila ayah dirumah. Engkau adalah amanah yang Allah titipkan kepada kami.
Mulai
malam ini Ayah berjanji untuk berubah. Semoga besok pagi engkau bisa memaafkan
ayah. Semoga besok pagi engkau mau ayah gendong lagi, semoga besok pagi engkau
mau ayah cium lagi. Semoga besok pagi awal dari semua perubahan itu. Maafkan
ayah, Aisyah.
(Yatim
Edisi Juni 2012 : 14)
0 komentar:
Posting Komentar