Pernah ada seseorang
yang matanya tertutup, disuruh berjalan, akhirnya menangis. Mengapa? Karena
setiap langkahnya penuh dengan keraguan. Ia merasa setiap langkahnya selalu
berisiko. Mungkin terpeleset, jatuh dari tangga, kepala terantuk, atau tubuhnya
memberntur dinding.
Begitulah kira-kira,
kalau kita tidak mendapatkan cahaya dalam hidup ini. Lalu bagaimana hati kita
tidak mendapatkan cahaya kebenaran?
Berada di lorong gua
yang gelap memang sangat merepotkan. Setiap langkah tidak pernah tentram dan
selalu dicekam kecemasan. Begitupun orang yang tidak mendapatkan tuntunan dari
Allah. Hidupnya akrab dengan kecemasan. Perasaan yang ada hanya takut. Takut
tidak kebagian dunia, takut oleh manusia, takut mati, dan lain-lain. Persis
seperti orang yang masuk ke dalam rimba belantara. Walaupun membawa bekal, tapi
tidak membawa peta. Bekalnya banyak tapi takut habis, akhirnya dia pun panik.
Orang yang tidak
mendapat hidayah dari Allah, hidup di dunia ini terasa lelah, takut, tegang,
waswas, cemas, gelisah, dan bingung. Tidak sedikit orang kaya malah menderita
dengan kekayaannya. Kekayaan yang melimpah ruah justru semakin membuatnya
sengsara, semakin kaya semakin banyak barang yang harus dijaganya. Sementara
semakin mahal barang, boleh jadi semakin menyiksa. Takut hilang, biaya
perawatan tinggi, mengundang minat pencuri, memunculkan sifat ingin dipuji
orang lain, dan sebagainya.
Di sisi lain, ada pula
yang menyangka bahwa dengan kedudukan, penampilan, dan gelar maka seseorang
akan memperoleh kemuliaan. Dia menganggap kemuliaan itu datang dari gelar. Akibatnya, dia kasak-kusuk ke sana kemari
memburu kedudukan dan gelar. Kuliah tidak, sekolah tidak, tiba-tiba bertitel
Mastr, Ph. D, SH. Mati-matian ikut BL (body
language), tapi makin lama makin tua, tidak bisa tidak. Meskipun memakai
masker mentimun, tomat, dan semacamnya, tetap saja akan menjadi tua, kulit
keriput, dan mulai bersisik.
Lalu mengapa orang
sampai mau membeli gelar. Membohongi dirinya sendiri? Padahal, semua itu tidak
ada artinya kalau dia tidak mendapatkan hidayah dan taufik dari Allah untuk
menjadi orang yang kenal kepada agama. Setinggi apapum gelar atau kedudukannya,
setiap manusia pasti akan mati. Pejabat tinggi sekalipun ujung-ujungnya pension
lalu mati. Yang jadi masalah adalah akhir pensiunnya, apakah namanya akan harum
atau malah menjadi hina gara-gara kedudukannya?
Sinetron baru bagus,
kalau para pemainnya membaca, mempelajari, dan menghafal skenarionya dengan
baik. Bagaimana akting orang akan sesuai skenarionya, kalau dia tidak pernah
mempelajari skenario? Begitupun kita, keluarga pasti berantakan, di sekolah
pasti berantakan, di kantor pasti berantakan, bernegara pun berantakan, kalau
kita tidak mengenal skenario dari Allah SWT. Dan, skenario tersebut adalah
al-Islam, tuntunan agama ini.
Orang yang jauh dari
agama, jauh dari Al-Quran, apa pun yang diberikan Allah kepadanya pasti hanya
akan membuat dirinya hina. Harta, gelar, pangkat, jabatan, atau penampilan yang
diberikan Allah, kalau tidak diiringi dengan ketaatan kepada Allah, pasti akan
menyiksa. Hidupnya hiruk-pikuk, rebutan, sikut sana, sikut sini. Tidak peduli
aturan, tidak peduli etika.
Kalau kita mendapat
hidayah dari Allah, seperti berjalan di terang-benderang. Mantap! Sekalipun
barang-barang harganya naik, kita tidak akan takut, karena yakin bahwa Allah
Mahatahu apa yang kita butuhkan lebih dari pengetahuan kita sendiri. La khaufun ‘alaihim wa laa hum yahzanuun,
‘tidak ada ketakutan pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati’. Itulah
orang yang mendapat hidayah dari Allah, dia tidak pernah panik dengan dunia
ini. Tapi, dia akan merasa galau kalau tidak mampu menyempurnakan apa yang bisa
dia lakukan.
Jika orang lain takut
tidak punya uang, maka orang yang memperoleh hidayah takut kalau tidak punya
jujur, takut jika tidak punya syukur, takut tidak punya sabar. Orang bisa takut
karena tidak memiliki gelar, padahal yang seharusnya ditakuti adalah
ketidakmampuan mempertanggungjawabkan gelar tersebut. Orang takut tidak
mempunyai penampilan bagus, justru seharusnya takut jika penampilannya akan
membawa fitnah (cobaan). Beda takutnya para pecinta dunia dengan orang yang
mendapat hidayah dari Allah SWT..
Dalam Al-Quran surah
asy-Syams ayat 8, Allah SWT. Berfirman. “Dan
Allah telah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan”.
Dengan kata lain, setiap orang sebetulnya sudah diberi fasilitas oleh Allah.
Dia mau baik atau buruk bergantung pada kesungguhan dan ketaatannya dalam
mengikuti petunjuk Allah.
Lebih lanjut, dalam
Al-Quran surah Ali Imran ayat 73, Allah SWT. Berfirman, “Dan janganlah kamu percaya melainkan kepada orang yang mengikuti
agamamu. Katakanlah, sesungguhnya petunjuk yang harus diikuti ialah petunjuk
Allah”.
Dari ayat di atas
tersirat bahwa kita harus senantiasa mengikuti petunjuk yang Allah gariskan,
yakni dengan bersungguh-sungguh mencari hidayah Allah, sebab hanya dengan
begitu seseorang akan memperoleh kebaikan. Sebagaimana yang disabdakan oleh
Rasululllah SAW., “Apabila Allah
menginginkan kebaikan bagi seseorang, maka dia diberi pendalaman dalam ilmu
agama”. (HR Bukhari)
Buya Hamka, semoga
Allah memuliakan dan merahmati beliau, pernaha menyatakan bahwa hidayah itu
seperti pesawat terbang. Kalau landasannya sederhana, yang mendarat adalah helikopter.
Jika landasan agak bagus maka bisa didarati pesawat jenis capung. Jika lebih
baik lagi mungkin bisa twin otter,
lebih mantap lagi oleh cassa, lebih
bagus lagi mungkin jumbo jet. Allah
telah menyiapkan segalanya untuk kita. Tiap-tiap sesuatu sepadan dengan
ketahanan kita. Pertanyaannya adalah kita bersungguh-sungguh merindukan hidayah
itu atau tidak?
Sebagai contoh, Cat
Steven, seorang penyanyi ternama yang sangat merindukan siapa Tuhan. Dia
menjelajah ke sana sini dan mencari terus. Sampai kakaknya memberinya the Holy Quran, Kitab Al-Quran. Di abaca
dan pelajari Al-Quran dengan sungguh-sungguh hingga akhirnya dia tertarik, lalu
masuk Islam. Begitulah, setiap orang yang bersungguh-sungguh mencari hidayah
Allah, pasti Allah akan memberikan jalan. Sebagaimana firman Allah, “Dan orang-orang yang berjihad (mencari
keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan
Kami. Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat ihsan (baik).”
(al-‘Ankabuut : 69) Oleh karena itu, yang menjadi masalah adalah bukan soal
hidayahnya, tetapi apakah kita telah bersungguh-sungguh dalam mencarinya.
Akhirnya, di samping
tetap istiqamah dalam meraih hidayah Allah kita pun harus terus memanjatkan
doa, “Yaa muqallibal quluub, tsabbit
qalbii ‘alaa diinika. Rabbanaa laa tuzzigh quluubana ba’da idz hadaitana
wahablanaa min ladunka rahmah innaka antal wahhaan,” ‘Wahai Allah yang
membolak-balikkan hati, teguhkan hatiku di atas agama-Mu. Yaa Rabb, jangan
palingkan hati kami sesudah Engkau beri kami petunjuk. Dan karuniakan untuk
kami dari sisi-Mu kasih saying. Sesungguhnya Engkau Maha Pemberi’. Semoga Allah
yang membolak-balikkan hati menetapkan hati kita pada dinul Islam. Semoga hati
kita tidak dipalingkan, dicabut nikmat iman ini, setelah kita memperoleh
hidayah Allah.
Langkah paling awal
untuk meraih hidayah ini adalah dengan terus mencari ilmu sekuatnya. Tiada hari
tanpa mencari ilmu, tiada hari kecuali bertambah amal dan tiada hari kecuali
menambah bersih hati kita. Makin banyak ilmu kita, makin produktif dalam
beramal, dan makin bening hati kita. Mudah-mudahan dengan ilmu yang diamalkan
dan keikhlasan beramal, maka akan menjaga kita dari dicabutnya nikmat Allah yang
termahal, yakni hidayah. Amin.
Wallahu
a’lam.
(K.H. Abdullah Gymnastiar || Meraih
Bening Hati dengan Manajemen Qolbu : 9 - 13)
0 komentar:
Posting Komentar