Kebanyakan orang pasti
tak mau punya utang. Tapi, itu dulu. Di zaman modern seperti saat ini, tak
punya utang justru rasanya ada yang kurang. Rasanya tak afdol bila tak punya
utang. Maklum, bila tak berutang kita bakal susah punya barang. Beli handphone utang, beli mobil utang,
hingga beli rumah pun berutang. Apalagi, kini berutang kian gampang.
Berutang
gampang memang, tapi nyicilnya yang berat bukan kepalang. Awalnya terasa enak
lantaran bisa punya barang dengan cepat. Belakangan kepala nyut-nyutan lantaran mesti mikir cicilan. Tak jarang uang belanja
bulanan tersedot untuk bayar utang. Akhirnya malah besar pasak daripada tiang.
Memang
dari perspektif ilmu ekonomi, utang bukan sesuatu yang haram. Malah, utang
dianjurkan untuk mengakselerasi kekayaan dan kemakmuran. Syaratnya, utang mesti
dialokasikan untuk sesuatu yang produktif, dan bukan konsumtif. Misalnya utang
untuk membeli rumah atau properti, buat membeli mobil lantas disewakan, atau
buat membeli motor lantas diojekkan.
Ambil
contoh utang untuk membeli aset properti. Di tahun-tahun awal, memang terasa
berat. Namun, belakangan pasti terasa ringan seiring bertambahnya pendapatan
dan berlanjutnya zaman. Karena itu, seandainya sudah terasa agak longgar, tak ada
salahnya mengambil lagi utang properti. Toh,
total cicilan plus pokok utang bakal lebih kecil dari harga aset properti bila
lunas kelak. Aset properti bisa menjadi celengan di masa mendatang, asal
dilakukan dengan penuh perhitungan.
Paling
berat bila utang dibelanjakan untuk barang konsumtif seperti handphone atau produk elektronik. Sebab,
value-nya terus menurun dari waktu ke
waktu, dan di sisi lain kita tetap mencicil pokok dan bunga utang pada periode
tertentu. Boleh dikata, utang kartu kredit adalah yang paling menjerumuskan.
Sebab, kadang kita tertipu. Ternyata suku bunga kartu kredit kelewatan
menjulang.
Lahirkan
Ketidakadilan
Di
sinilah rasa ketidakadilan muncul. Bank terlihat begitu ‘rakus’ meraup laba
dengan agresif menaikkan suku bunga. Pada tahun awal kredit, suku bunga biasanya
memang tetap (fixed). Namun
tahun-tahun berikutnya, bunganya terasa mencekik leher dan ogah turun dari
ketinggian. Padahal, suku bunga acuan atau BI rate dalam setahun terakhir relatif rendah.
Namun,
yang turun hanya suku bunga simpanan masyarakat. Sedangkan bunga pinjaman tetap
bertahan. Bahasa sederhananya, kulakan
murah tapi jualannya mahal. Karena itu, tak perlu heran bila perbankan nasional
rata-rata meraup untung triliunan, bila melihat laporan keuangan 2010.
Seakan-akan insane perbankan hidup dengan kemewahan, bergelimang uang di atas
penderitaan orang. Bahkan yang terbaru, ada yang mesti kehilangan nyawa
gara-gara bunga dan tagihannya mendadak membengkak.
Berangkat
dari itu semua, kita memang harus menimbang dengan matang sebelum berutang. Ada
utang yang menguntungkan, ada pula yang merugikan. Utang kartu kredit pun tak
selamanya merugikan. Asal kita disiplin membayar sebelum jatuh tempo, utang
kartu kredit malah menguntungkan. Sebab, kita bisa membeli barang tapi bayar
belakangan. Bahkan, tak sedikit pul merchant
yang memberikan potongan.
Bagi
perbankan, mungkin sudah saatnya mengerem agresifitasnya meraup laba. Ingat,
salah satu penyebab krisis keuangan di Amerika Serikat (AS) pada 2007-2008
silam adalah akibat kerakusan lembaga financial meraup untung. Masa untung segunung masih kurang.
Justru bunga tinggi menimbulkan beban berat di pundak debitor, dan berpotensi memicu kredit macet. Meminjam istilah guru
marketing Hermawan Kartajaya, ”Bagaimana menurut pendapat Anda?”
(Al
Falah Edisi Mei 2011 : 15)
0 komentar:
Posting Komentar