RSS

CAHAYA DIATAS CAHAYA


"Nduk, Ibu senang kamu akrab dengan Amin. Abahmu juga setuju, karena dia santri. Jika kamu menyukai dia, mintalah dia lebih serius", pesan Bu Rahmah.

Mendengar penuturan ibunya, Sakina hanya bisa diam, membisu. Tak tahu, ia harus berkata apa tentang hubungannya dengan Amin selama ini. Keduanya memang teman karib sejak sama-sama mondok. Kini, mereka pun kuliah di universitas yang sama, hanya beda fakultas.

"Bagaimana caranya aku mengungkapkan rasa di hatiku ini? Tak mungkin kukatakan lebih dulu. Aku ini wanita. Tak punya kuasa untuk memilih. Aku hanya berhak menerima atau menolak. Namun, hingga kapan aku harus menunggu? Oh, Tuhan, tolonglah aku", pikir Sakina yang malam itu masih tidak bisa memejamkan mata.

***

Keesokan harinya, seperti biasa, Amin dan Sakina menikmati makan siang bersama di kafe kampus. Hanya saja, kali ini Sakina ditemani Fariha, teman sekelasnya.

"Kenalkan, ini teman saya, Fariha", ujar Sakina kepada Amin, orang yang sedari tadi mereka tunggu.

Ketiganya asyik menikmati nasi soto sambil mendiskusikan mata kuliah yang mereka pelajari. Fariha tidak seperti Sakina. Ia tipe wanita yang cepat beradaptasi, terbuka, humoris dan lekas akrab. Inilah barangkali yang menjadi alasan mengapa Sakina perlu memperkenalkannya kepada Amin agar ia bisa membantu menyampaikan isi hatinya kepada pria yang telah lama dicintainya.

Tapi ternyata, apa yang diinginkan Sakina, belum juga ia sampaikan, meski kepada Fariha, sahabatnya. Dia masih malu atau mungkin menunggu saat yang tepat.

Tanpa diduga, seminggu kemudian, Amin berkata kepada Sakina, "Entah kenapa, sejak pandangan pertama, aku seakan jatuh cinta kepada Fariha, sahabatmu. Maukah kamu menolongku untuk menyampaikan maksud hatiku ini kepadanya?".

Seperti mendengar petir di siang bolong, Sakina seakan tidak percaya, bahwa pria yang selama ini ia rindukan cintanya, justru berniat mencintai sahabatnya, Fariha.

"Kok diam sih, apa kamu sudah tidak setia kawan lagi ya dengan sahabatmu ini?", goda Amin kepada Sakina.

Sakina yang tadi tertunduk, kini mulai kuat mengangkat kepalanya. Ia berusaha tegar, meski hatinya tercabik-cabik. Amin tidak menyadari bahwa wanita di depannya itu sedang dilanda prahara cinta. Ada sebuah dilema yang sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata.

"Please, dong.... Bantu aku ya? Atau, aku tulis surat saja?", rengek Amin.

"Iya, insya Allah", jawab Sakinah, pendek.

"Nah, begitu dong. Ini baru namanya sahabat", kata Amin, kegirangan.

Selepas pertemuan itu, Sakina jarang mau diajak makan bersama di cafe. Ia masih berusaha menenangkan diri. Tiap kali bertemu Amin, ia selalu mendengar pertanyaan, "Gimana, apa sudah disampaikan?". Pertanyaan inilah yang membuat Sakina merana. Ia seakan dihadapkan pada buah simalakama.

***

Di tengah dinginnya malam, Sakina terduduk di tempat tidurnya. Seorang diri. Sementara itu, di luar jendela tampak rintik hujan mulai mengguyur bumi. Dalam sepi dan senyap, Sakina menengahkan tangannya.

"Ya Allah, bila Amin adalah jodohku yang terbaik, segera satukan aku dengannya dalam cinta. Bila ia bukan jodohku, tolonglah aku. Jodohkan aku dengannya dalam cinta yang suci dan terbaik menurut-Mu. Bukankah Engkau Maha Kuasa atas segalanya? Ampuni aku, bila aku meminta sesuatu yang seharusnya bukan hakku. Sebab, semua ini adalah milik-Mu".

Hanya munajat itu yang tersisa dari dalam sanubari Sakina. Harapannya yang lain mulai lenyap. Seakan ada tembok besar yang tiba-tiba menghadang langkahnya. Sebab, di atas meja komputernya saat ini, sedang tergeletak sebuah amplop berisi surat dari Amin untuk Fariha yang harus ia sampaikan.

Pada bagian luar amplop berwana merah muda itu, tertulis sebuah kalimat, "Untuk rembulanku, Fariha".

Tiap kedua mata Sakina menatap kalimat itu, hatinya seperti tersayat. Ia membayangkan, seharusnya dirinyalah yang menjadi rembulan itu, bukan sahabat karibnya. Tak kuasa menahan kepedihan, akhirnya, Sakina pun tertidur lelap.

Dalam mimpinya, Sakina melihat matahari, bulan dan bintang-bintang bertebaran di langit. Ia tidak tahu lagi, apakah saat itu siang atau malam?. Lalu, sayup-sayup ia mendengar suara, "Selama sang surya masih berputar pada porosnya, tenanglah".

Saat Sakina terbangun, ia tak segera bergegas ke kamar mandi. Gadis cantik itu masih berusaha mengerti maksud mimpinya. Adakah ini sebuah isyarat, atau sekedar bunga tidur yang lantas layu bersamaan dengan terbukanya kedua bola mata?

***

Pagi itu, hari tampak cerah. Sakina pun telah bersiap-siap berangkat ke kampus. Saat kakinya melangkah ke daun pintu, ia melihat di halaman rumahnya, telah berdiriseorang pria tampan yang selama ini ia cintainya.

"Mas Amin, kok tumben, ada apa?", tanya Sakina, sambil membuka pintu rumahnya.

"Iya, saya ingin menjemputmu dan berangkat bareng ke kampus", kata Amin.

"Bukannya saya menolak, Mas. Tapi, sudah biasa sih, berangkat sendiri", kata Sakina yang masih berpura-pura menolak, meski sebenarnya hatinya bersorak ria.

"Baiklah, saya tidak memaksa. Oiya, bagaimana dengan surat itu, apa sudah disampaikan?", tanya Amin.

"Silahkan masuk dulu!", ajak Sakina.

Tatkala Amin telah duduk di kursi teras rumah Sakina, sejurus kemudian, gadis berjilbab itu telah keluar lagi dari dalam rumah sambil membawa surat yang dimaksud.

"Oh, belum diberikan ya? Apa tidak sempat?", tanya Amin setelah mengetahui surat itu masih ada di tangan Sakina.

"Insya Allah, akan saya sampaikan hari ini. Tapi, sebelumnya, izinkan saya bertanya?", kata Sakina, seperti memberanikan diri.

"Mas, saya hanya ingin tahu, mengapa Fariha diserupakan dengan rembulan?"

"Yah..., wanita-wanita lainnya, yang bertebaran di langit, mereka adalah bintang-bintang. Biarkan mereka bersinar di angkasa raya. Akan tetapi, satu-satunya yang terdekat dengan saya, yang kelihatan terbesar, terindah dan paling bisa menerangi di malam hari, hanya satu orang. Dialah wanita pilihan, Fariha", jelas Amin, memaparkan argumennya.

Lalu, sambil menundukkan kepala, Sakina bertanya lagi, "Lalu, siapakah yang menjadi matahari, bila bintang dan rembulan telah ada? Bukankah sinar rembulan yang memancar di gelapnya malam dan juga kelap-kelip bintang, semua itu hanyalah percikan dari matahari yang terang benderang. Hanya saja, di saat malam, sang surya masih tenggelam di bawah kaki".

Tanpa sadar dan tanpa sengaja, bahkan seperti bercanda, Amin menjawab, "Mataharinya ya kamu itu, Sakina!".

Sontak Sakina terkejut. "Benarkah yang ia dengar barusan?" Amin pun demikian. Ia seperti terbawa arus hingga tak sadar menjawab dengan kalimat itu. Ia seperti lepas kendali dan tidak memahami, bahwa lisan yang tidak bertulang itu, bisa saja mengubah segalanya.

"Mas, bisakah diulangi lagi, siapakah matahari itu?", tanya Sakina, memberanikan diri. Tekadnya telah bulat. Rasa malu yang selama ini melilit tubuhnya, sudah lenyap begitu saja. "Nasi telah menjadi bubur", pikir Sakina. "Now or Never?" Cuma sekarang ia memiliki kesempatan untuk bertanya, atau tidak sama sekali dan akan menyesal untuk selama-lamanya.

Dengan suara terbatah, Amin menjawab:

"Bagaimana mungkin aku bisa mengulanginya lagi, bila sang surya berada tepat di depan mataku. Aku seperti orang buta, mataku benar-benar silau sehingga gadis yang pada hakikatnya selama ini terang benderang, justru tak terlihat seperti tertelan bumi".

Sakina menangis. Ia tak kuasa mendengarnya. Lalu, ia berkata:

"Bagaimana mungkin aku yang wanita dan lemah ini bisa menyatakan rasa dalam hati, bila Mas Amin adalah langit yang berada jauh nun di atas sana, di atas matahari dan tata surya lainnya?!".

"Jadi, selama ini, sampeyan juga mencintai saya?", tanya Amin.

Sakina hanya diam seribu bahasa. Di kedua pelupuk matanya, masih terlihat air mata berkaca-kaca.

"Jujur, sudah lama aku mencintaimu, wahai matahariku. Tapi, aku ini santri yang tak pernah sekalipun menyatakan cinta kepada wanita. Apalagi, cinta itu harus kusampaikan kepada sahabat terbaik dalam hidupku. Sehingga, selama ini, aku hanya bisa khawatir, bila cinta itu terucap, justru malah menjauhkan kita. Maafkan aku", kata Amin.

"Aku pun demikian. Maafkan aku", jawab Sakina.

Ada kehangatan dan bahkan kehidupan dari pancaran sinar matahari. Cahayanya begitu putih dan suci, menerangi segalanya. Ia begitu dekat hingga tak jarang dilupakan. Ia sangat menyilaukan hingga sering tak bisa dipandang. Kasih sayangnya cukup besar, memberi tanpa pamrih hingga tak mudah diingat dan sulit dimengerti.

Matahari itu adalah wanita sekaligus sahabat di atas sahabat. “Nurun ‘Alan Nuur”, Cahaya Di Atas Cahaya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar