RSS

APA URUSANKU DENGAN DUNIA


“Kalau hidup sekedar hidup, babi hutan juga hidup. Kalau kerja sekedar kerja, kera juga bekerja.” (Buya Hamka)

K
etidaktenangan jiwa sering kali karena kita tak pernah berhenti membandingkan diri dengan orang lain. Membandingkan penghasilan, jabatan, merek HP, kendaraan, rumah, merek tas, pakaian, bahkan popularitas dengan orang lain. Akhirnya, jutaan karunia yang Tuhan hadiahkan untuk kita hanya berlalu begitu saja tanpa rasa syukur.

Padahal, hitunglah anugerah Tuhan, kalkulasikan pemberian Allah setiap saat dalam diri kita, niscaya kita akan menjadi pribadi yang sangat berbahagia. Karena nikmat-Nya bagi kita ternyata tak terhingga.

Dunia yang terus-menerus direguk, bagaikan air laut yang senantiasa diteguk. Makin rakus meminumnya, makin hauslah kita dibuatnya. Makin terbuai kita dalam menikmati dunia, makin tamaklah kita dibuatnya. Ada suatu masa di mana kenikmatan dunia tak terasa. Akan datang hari di mana kesengsaraan dunia dirasakan.

Kelak, pada hari kiamat akan didatangkan orang yang paling senang hidupnya di dunia dari kalangan penghuni neraka. Kemudian ia dicelupkan ke neraka sekali celup, lalu dikatakan padanya, “Wahai anak Adam, apakah engkau pernah merasakan kesenangan ketika di dunia dahulu?” Ia menjawab, “Tidak, demi Allah wahai Rabb-ku.” Lalu didatangkan orang yang paling sengsara hidupnya di dunia dari kalangan penghuni surga. Kemudian ia dicelupkan ke surga sekali celup, lalu dikatakan padanya, “Wahai anak Adam, apakah engkau pernah merasakan kesusahan atau penderitaan ketika di dunia dahulu?” Ia menjawab, “Tidak, demi Allah, aku tidak pernah merasakan kesusahan atau penderitaan sedikit pun.” (HR. Muslim)

“Sungguh aku benar-benar dapat mengenali kecintaan seseorang terhadap dunia dari cara penghormatannya kepada ahli dunia.” (Sufyan ats-Tsauri)

Tiga Hal yang Boleh Dibandingkan
Kalau kita masih suka membandingkan diri dengan orang lain terkait harta, gelar, gaji, kedudukan, maka jangan pernah bermimpi untuk bahagia. Sebab, kebahagiaan hanya hadir saat kita mensyukuri karunia Tuhan, menikmati hidup, tanpa mengukurnya dari persepsi orang lain.

Hanya tiga hal yang boleh dibandingkan dengan orang lain:
  • Tekunnya ibadah
  • Besarnya manfaat
  • Dalamnya ilmu.

Jika ada yang lebih tekun ibadahnya, lebih luas manfaatnya, dan lebih dalam ilmunya, maka berlombalah dengannya. Jika ada orang yang lebih ikhlas pengabdiannya pada Tuhan, lebih hebat kontribusinya pada sesama, dan lebih semangat dalam menimba bermacam pengetahuan, maka putuskan untuk berkompetisi dengannya. Jangan mau ketinggalan dengan orang itu. Saingi mereka. Irilah pada mereka. Karena rasa iri kepada orang baik, adalah sebuah keutamaan.

Selain tihal hal itu, syukuri yang telah kita peroleh. Nikmatilah hidup. Semoga dengan cara ini Allah membahagiakan jiwa kita. Terlalu berambisi mengumpulkan dunia dan terus-menerus membandingkan dengan perolehan orang lain hanyalah akan memperbudak diri dalam keserakahan. Tidak mau kalah dengan orang yang lebih banyak hartanya, lebih tinggi pangkatnya, lebih cemerlang kariernya, lebih tinggi popularitasnya, lebih hebat kekuasaannya, hanyalah akan menyita usia kita dalam ketamakan yang tak berujung. Jangan pernah bercita meraih ketenangan dan kebahagiaan hidup ketika kita masih suka menempatkan kebahagiaan kita di bawah bayang-bayang keberhasilan orang lain.

Yang kita butuhkan bukan harta, bukan jabatan, bukan popularitas. Untuk tetap merasakan kebahagiaan d dunia yang sudah carut marut ini, yang lebih kita butuhkan adalah kedekatan dengan Tuhan. Segala kekurangan yang justru membuatmu lebih dekat dengan Tuhan, hakikatnya adalah anugerah. Segala keberlimpahan yang justru membuatmu jauh dari Tuhan, hakikatnya adalah musibah. Masalah terbesar dalam hidup bukanlah kekurangan harta atau kehilangan kehormatan di hadapan sesama. Masalah terbesar adalah di saat cinta Tuhan tak lagi singgah pada diri kita.

Dengan sindiran yang cukup telak, Buya Hamka pernah menasehatkan, “Kalau hidup sekadar hidup, babi hutan juga hidup. Kalau kerja sekadar kerja, kera juga bekerja.” Dengan perumpaan babi hutan dan kera, Buya Hamka seolah menuturkan, bahwa jika kualitas hidup kita hanya sekadar menjalani hidup mangalir tanpa punya makna, maka apalah beda kita dengan babi hutan yang selama ini kita rendahkan. Jika tiap hari kita bekerja dan bekerja hanya untuk mencukupi kebutuhan hidup tanpa ada tujuan yang lebih tinggi, apalah beda kita dengan kera yang tiap hari juga bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.

Hidup bukan sekadar untuk makan, dan makan bukan hanya sekadar untuk hidup. Kita tercipta sebagai makhluk sempurna, yang oleh Allah diamanahi tugas mulia sebagai khalifah di muka bumi. Ini adalah tugas besar yang hanya mampu diemban oleh manusia. Jadikan hidup ini sebagai perjalanan panjang untuk menjadi pemakmur bumi. Kita hidup untuk mempersembahkan pangabdian terbaik kita pada-Nya, kita menebar seluas mungkin manfaat bagi sesama, dan menjadikannya sebagai bekal untuk menempuh perjalanan yang lebih hakiki. Yakni perjalanan menuju kehidupan yang abadi.

(Tuhan, Maaf, Kami Sedang Sibuk || Ahmad Rifa’i Rif’an : 17-21)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar