RSS

TUHAN, MAAF, KAMI SEDANG SIBUK




“Tuhan, maaf, kami orang-orang sibuk. Kami memang takut neraka, tetapi kami kesulitan mencari waktu untuk mengerjakan amalan yang dapat menjauhkan kami dari neraka-Mu. Kami memang berharap surge, tapi kami hamper tak ada waktu untuk mencari bekal menuju surge-Mu.”

Berapa jam sehari Anda sempatkan waktu Anda untuk beribadah dan berkomunikasi dengan Allah? Berapa penghasilan yang Anda sisihkan dalam sebulan untuk bersedekah?

Ya, dari dua pertanyaan itu sudah menunjukkan karakter kita yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk urusan dunia daripada akhirat. Teliti kata-kata yang saya tulis miring (italic) di atas, mari kita ber-istighfar. Kita seolah makhluk yang begitu sibuk, bahkan untuk beribadah dan berkomunikasi dengan Allah saja kita harus menyempatkannya. Kita seolah manusia pelit, bahkan untuk akhirat kita justru menyedekahkan harta yang tersisih.

Tak sadar di hadapan Tuhan seolah-olah kita adalah orang tersibuk, padahal seluruh waktu, seluruh jatah usia, bahkan hidup kita seharusnya kita persembahkan dalam pengabdian kepada-Nya. “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Kita sudah sedemikian berani berbohong kepada Allah. Di setiap iftitah begitu mudah kita ucap, “ínnash shalaatii wa nusukii wa mahyaaya wa ma maati lillaahi rabbil ‘aalamiina.” Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, matiku, hanya untuk Allah, Tuhan sekalian alam, tetapi kelakuan kita justru mengingkarinya.

Tuhan kita Mahaadil. Tetapi mengapa kita tak adil kepada-Nya? Ketika ada sms masuk, kita begitu bergegas membaca dan membalasnya, tetapi mengapa ketika Tuhan memanggil-manggil untuk menghadap-Nya kita begitu berani menunda-nundanya?

Ketika bos kita memanggil, betapa takutnya kita sehingga dengan cepat kita menghadapnya, namun ketika panggilan Tuhan berkumandang, betapa berani dan lamanya kita untuk menghadap-Nya. Padahal yang memanggil kita adalah Tuhannya bos, Atasannya atasan.

Saudaraku, dengarlah kalimat-kalimat muadzin yang berkumandang paling tidak lima kali sehari. Kalimatnya tak hanya mengajak kita untuk melaksanakan shalat, tetapi disusul dengan tawaran kesuksesan. Dengarlah panggilan Tuhan yang dikumandangkan oleh muadzin, Hayya ‘alash sholah. Mari menunaikan shalat. Tak cukup hanya itu, tetapi dilanjut dengan balasan yang indah, Hayya ‘alal falah. Mari meraih kemenangan. Seolah Tuhan berkata, wahai manusia, berhentilah dari rutinitas kerjamu, istirahatlah sejenak dari kesibukanmu. Shalatlah, dan sambutlah kemenangan. Shalatlah, dan sambutlah kesuksesan. Shalatlah, dan yakinlah kerjamu akan membuahkan keberhasilan dan lebih berkah.

Tapi tidak, manusia masih begitu pelit kepada Tuhan, bahkan untuk bersedekah pun kita menyisih-nyisihkan harta kita. Kita begitu boros untuk dunia, tetapi untuk bekal kehidupan abadi, malah kita tabung harta yang tersisih. Sedekah kita tak lebih dari harta yang tak begitu kita cintai. Jangankan sedekah, bahkan zakat yang hanya 2,5 persen saja terkadang begitu berat terambil dari dompet.

Betapa kecilnya harga uang ketika kita sedang berhadapan dengan penjual baju. Betapa murahnya angka satu juta ketika kita sedang shopping. Betapa kecilnya angka seratus ribu ketika kita belikan pulsa. Tetapi ketika ada kotak amal berjalan, ketika ada pengemis mengiba pinta, ketika ada anak kecil dengan wajah kusam mengamen dan menadahkan tangannya yang masih suci, berapa jumlah uang yang kita ambil dari dompet? Betapa besarnya nilai uang seratus ribu apabila dibawa ke masjid untuk disumbangkan, tetapi betapa kecilnya kalau dibawa ke mal untuk dibelanjakan. Ya Allah, tak sadar kita begitu pelit ketika dihadapkan pada bekal akhirat, tetapi untuk menuruti nafsu dan keinginan-keinginan dunia, betapa ringan kita rogohkan tangan. Padahal seharusnya justru sebaliknya, pelitlah untuk dunia, dan boroskan harta untuk akhirat.

Tapi tidak. Semua orang sudah begitu terjungkal konsep pemikirannya dalam memaknai hidup. Ingatlah ketika shalat, seolah tak kerasan dan betah berkomunikasi dengan Tuhan. Jangankan khusyuk, bahkan menyadari apa yang sedang dibaca saja tak sempat. Betapa lamanya lima belas menit jika kita gunakan untuk menyembah Allah, tetapi betapa singkatnya jika digunakan untuk melihat film. Betapa nyamannya apabila pertandingan bola ada perpanjangan waktu, namun ketika mendengar khotbah di masjid lebih lama sedikit daripada biasa kita begitu mudahnya untuk mengeluh.

Saudaraku, berapa waktu pagi yang kita habiskan untuk membaca koran? Kemudian bandingkan berapa waktu yang kau habiskan untuk membaca Surat Cinta dari Tuhan. Ah, betapa sulit menyempatkan waktu untuk membaca satu halaman Kitab Suci, tapi betapa mudahnya membaca ratusan halaman novel.

Saudaraku, kita lebih sering menghabiskan sisa usia dengan obrolan-obrolan tanpa makna, tetapi untuk berdoa kepada Allah berapa waktu yang kita sisihkan? Astaghfirullah, betapa sulitnya kita merangkai kata demi kata ketika berdoa kepada Tuhan, namun betapa mudahnya kita menyusun kalimat panjang ketika menggunjing tetangga, bergosip dengan teman, dan mengobrol tanpa makna.

Betapa semangatnya kita duduk di barisan paling depan ketika menonton pertandingan atau konser musik, tetapi ketika berjamaah mengapa kita lebih memilih shaf terbelakang?

Betapa sulitnya mempelajari arti yang terkandung di dalam Kitab Suci. Betapa sulitnya kita mengimani apa yang dikatakan Allah Swt., dan Rasul saw., tetapi betapa mudahnya kita mempercayai apa yang dikatakan oleh koran. Ya, tiap pagi koran seolah menjadi sarapan wajib, tetapi hamper tiap hari seolah tak ada jeda untuk mengisi waktu dengan tilawah.

Ibnu Athaillah berkata, “Menunda beramal saleh guna menantikan kesempatan yang lebih luang termasuk tanda kebodohan diri.” Ya, kebodohan diri. Betapa bodohnya diri yang tak tahu berapa lama Allah menjatah umurnya, tetapi dengan tenang ia lakukan aktivitas dunia dengan menunda-nunda kebaikan. Betapa bodohnya jiwa yang telah tahu bahwa belum tentu esok ia masih bias bernapas lega, tetapi dengan beraninya hidup dalam santai dan lupa bahwa momentum kebaikan takkan terulang untuk yang kesekian kalinya.

Bertahun-tahun begitu mudah kita habiskan usia untuk memuaskan nafsu-nafsu. Bertahun-tahun begitu mudah kita mengumbar semua keinginan. Tetapi mengapa untuk berpuasa beberapa hari saja kita terlalu banyak mengungkap keluh. Mengapa untuk menahan diri beberapa saat saja kau terus mengiba.

Ah, setiap orang begitu takut ketika diancam neraka, tetapi kelakuan-kelakuan mereka seolah-olah sedang memohon untuk dimasukkan ke neraka secepatnya. Betapa setiap orang ingin menginjakkan kaki di pelataran surge, tetapi kelakuan-kelakuannya justru menjauhkannya.

“Semua umatku akan masuk surge kecuali yang enggan memasukinya. Siapa yang menaatiku akan memasuki surge, dan siapa yang mendurhakaiku, maka dialah orang yang enggan masuk surge.” (HR. Bukhari)

Tuhan, Harap Maklumi Kami
Tuhan, harap maklumi kami, manusia-manusia yang begitu banyak kegiatan. Kami benar-benar sibuk, sehingga kami amat kesulitan menyempatkan waktu untuk-Mu.

Tuhan, harap maklumi kami, hamba-hamba-Mu yang begitu padat rutinitas, sehingga kami sangat kesulitan mengatur jadwal untuk menghadap-Mu.

Tuhan, kami sangat sibuk, jangankan berjamaah, bahkan munfarid pun kami tunda-tunda. Jangankan rawatib, zikir, berdoa, tahajud, bahkan kewajiban-Mu yang lima waktu saja sudah sangat memberatkan kami. Jangankan puasa Senin-Kamis, jangankan ayyaamul baith, jangankan puasa Nabi Daud, bahkan puasa Ramadhan saja kami sering mengeluh.

Tuhan, maafkan kami, kebutuhan kami di dunia ini masih sangatlah banyak, sehingga kami sangat kesulitan menyisihkan sebagian harta untuk bekal kami di alam abadi-Mu. Jangankan sedekah, jangankan jariah, bahkan mengeluarkan zakat yang wajib saja sering kali terlupa.

Tuhan, maafkan kami, kekayaan kami belumlah seberapa, kami masih perlu banyak menabung, sehingga kami tidak bias menyisihkan sebagian rezeki dari-Mu untuk memperjuangkan agama-Mu.

Tuhan, maafkan kami, kami tak sempat bersyukur. Jiwa kami begitu rakus. Kami tak kunjung puas dengan nikmat-Mu, sehingga kami kesulitan mencari-cari mana karunia-Mu yang layak kami syukuri.

Tuhan, maaf, kami orang-orang sibuk. Bahkan kami kesulitan mencari waktu untuk mengerjakan amalan yang dapat menjauhkan kami dari neraka-Mu. Kami hampir tak ada waktu untuk mencari bekal menuju surga-Mu.

Tuhan, urusan-urusan dunia kami masih amatlah banyak. Jadwal kami masih amatlah padat. Kami amat kesulitan menyempatkan waktu untuk mencari bekal menghadap-Mu. Kami masih belum bisa meluangkan waktu untuk khusyuk dalam rukuk, menyungkur sujud, menangis, mengiba, berdoa, dan mendekatkan jiwa sedekat mungkin dengan-Mu. Tuhan, tolong, jangan dulu Engkau menyuruh Izrail untuk mengambil nyawa kami, karena kami masih terlalu sibuk.

Tuhan maaf, kami terlalu sibuk. Padahal Engkau memerintahkan kami berwudhu untuk membasuh wajah kami yang telah penat memikirkan dunia. Padahal Engkau meminta kami bertakbir ketika jiwa kami terasa letih menggapai cita. Padahal Engkau perintahkan kami bersujud untuk meregangkan pundak kami yang telah letih memikul amanah.

Tuhan, maaf, selama ini kami terlalu sibuk. Kami terlalu sombong kepada-Mu, seolah kami tak membutuhkan-Mu. Mohon cahayai hati kami, guyur jiwa kami dengan hidayah-Mu. Agar jiwa ini tawadhu’ di hadapan-Mu. Agar jiwa kami ikhlas menuruti tuntutan-Mu. Agar diri ini tegar saat yang lain terlempar. Agar jiwa ini teguh di saat yang lain runtuh.

Tuhan, maaf, selama ini kami merasa sok sibuk. Padahal Engkaulah Yang Mahasibuk. Kami sering kali telat menghadap-Mu, padahal Engkau tak pernah sekali pun telat memberi kami makan dan minum setiap hari. Kami sering kali lupa menunaikan kewajibanku pada-Mu, padahal Engkau tak pernah lupa menerbitkan mentari di pagi hari. Kami sering kali lalai mengingat-Mu, padahal Engkau tak pernah sekali pun lalai mempergilirkan siang dan malam. Setiap saat keburukan kami naik disampaikan para malaikat kepada-Mu, sementara kebaikan-Mu setiap detik tercurah kepada kami.

“Allah, tidak ada tuhan selain Dia, yang hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur…” (QS. Al-Baqarah:255)

(Tuhan, Maaf, Kami Sedang Sibuk || Ahmad Rifa’i Rif’an : 3-10)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar