RSS

MAAFKAN AYAH NAK . . . . .

“Kisah imajiner yang semoga menginspirasi para orang tua terutama para ayah.”


            Saat itu saya datang dari kantor agak malam, banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan hari itu. Maklumlah hari itu, Senin. Rumah yang biasanya ramai dengan tingkah polah anak kami, Aisyah, dan biasanya mainannya berserakan dimana-mana, sekarang begitu sepi dan sudah bersih. Istri tercinta sudah tidur pulas. Mungkin dia capek mengurus rumah, juga capek mengurus anak kami.
            Untuk lebih menyegarkan badan, saya langsung mandi kemudian shalat dan rencana juga langsung mau tidur. Tapi sebelum tidur, saya coba lihat Aisyah yang sudah tertidur pulas. Wajah polos tanpa dosa. Ketika saya lihat Aisyah, betapa kaget saya ketika ada bekas cubitan yang agak membiru di tangan kanannya. Saya teringat ketika tadi pagi Aisyah yang baru berumur 7 tahun main di teras rumah dan tiba-tiba berusaha menyeberang jalan. Kebetulan rumah kami dipinggir jalan raya. Takut terjadi sesuatu, saya reflek berlari dari ruang tamu untuk mencegahnya menyeberang. Saya langsung mencubitnya dengan harapan agar dia tidak mengulanginya lagi. Saya juga teringat ketika dia menangis dan langsung berlari kearah ibunya.
            Waktu saya mau berangkat ke kantor, Aisyah tidak mau saya peluk dan cium. Dia terus saja menempel dengan ibunya. Ya Allah, Saya tahu bahwa itu tindakan bodoh yang saya lakukan. Saya tahu, bahwa luka dibadannya suatu saat pasti akan hilang, tapi tidak dengan luka hatinya. Meskipun saya waktu itu berdalih bahwa itu sebagai rasa sayang saya kepada anak kami. Maafkan ayah ya nak, ayah khilaf. Mestinya ayah tidak menggunakan tangan ini untuk mencubitmu atau memukulmu nak.
            Malam itu entah kenapa mata ini sulit sekali dipejamkan. Satu persatu kejadian bersama anak kami melintas didepan mata. “Ayah nanti kalau pulang gak capek ya?”, begitu dia selalu bertanya kepada saya sebelum melanjutkan permintaannya. Dan saya pasti menjawab, “Tidak sayang, memang nanti kalau ayah pulang mau ngapain?” Lalu ia berkata “Nanti ajak Aisyah jalan-jalan ke taman bunga ya yah, khan sudah lama nggak kesana?” Saya langsung jawab : “Oke, tunggu ayah ya.”
            Saat itu saya lupa kalau hari itu ada meeting dikantor. Waktu saya pulang, Aisyah sudah tidur. Istri saya memberitahukan bahwa dari tadi Aisyah tidak mau tidur, malah minta dibikinin kopi, nunggu saya katanya. Duh ya Allah, pembelajaran buruk sudah saya lakukan buat Aisyah. Saya tidak menepati janji padanya. Saya juga tidak memberitahukan dia kalau saya berhalangan. Saya telah mengajarkan untuk mengingkari janji itu tidak apa-apa, saya mengajari juga untuk tidak komitmen.
            Suatu saat saya baru datang dari luar kota, saya mau istirahat dan tidak mau diganggu, saya bilang istri kalau ada tamu tolong bilang saya nggak ada, atau saya lagi keluar atau kemanalah yang penting saya tidak terganggu hari itu. Kebetulan anak kami, Aisyah, mendengar percakapan kami. Dengan gayanya yang khas dia bertanya, “Bu, katanya tidak boleh bohong, koq ayah bohong?” Saya seperti disambar petir waktu itu. Kesalahan fatal yang saya buat kembali. Mengajarkan berbohong.
            Bulan lalu kantor memberikan fasilitas blackberry buat saya. Agar komunikasi dan keputusan penting bisa langsung diputuskan saat itu. Tapi lagi-lagi barang membuat saya semakin jauh dengan keluarga. Pada saat dirumah ketika anak kami sibuk dengan mainannya, saya sibuk dengan memberikan komentar bbm teman dan kolega yang tidak sangat penting sekali. Pada saat istri butuh untuk bicara mengenai suatu hal, saya hanya menjawab sekenanya. Badan saya dirumah, tapi hati dan pikiran saya entah berada dimana.
            Malam sudah larut. Saya pandangi wajah anak saya, rasa bersalah semakin besar. Maafkan ayah nak, ayah berjanji mulai mala mini akan selalu menepati janji ayah dan kalau ayah tidak bisa, ayah akan memberitahumu nak. Mulai malam ini juga ayah akan menjadi teladanmu nak. Ayah tahu bahwa satu kali perbuatan itu lebih baik daripada seribu kali kata-kata. Mala mini juga ayah akan matikan BB ayah apabila ayah dirumah. Engkau adalah amanah yang Allah titipkan kepada kami.
            Mulai malam ini Ayah berjanji untuk berubah. Semoga besok pagi engkau bisa memaafkan ayah. Semoga besok pagi engkau mau ayah gendong lagi, semoga besok pagi engkau mau ayah cium lagi. Semoga besok pagi awal dari semua perubahan itu. Maafkan ayah, Aisyah.

(Yatim Edisi Juni 2012 : 14)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar