RSS

PAKSA DIRI BERBUAT TAAT

Mudah-mudahan Allah swt. Yang Maha Mengetahui siapa diri kita yang sebenarnya, menolong kita agar dapat mengetahui kekurangan yang harus diperbaiki, memberi tahu jalan yang harus ditempuh, dan memberikan karunia berupa semangat yang tidak pernah pudar, sehingga kita tidak dikalahkan oleh kemalasan, tidak dikalahkan oleh kebosanan, dan tidak dikalahkan oleh hawa nafsu.
Mudah-mudahan pula warisan terbaik diri kita yang dapat diwariskan kepada keluarga, keturunan, dan lingkungan adalah keindahan akhlak kita. Karena ternyata keislaman seseorang tidak diukur oleh luasnya ilmu. Keimanan seseorang tidak diukur oleh hebatnya pembicaraan.
Kedudukan di sisi Allah tidak juga diukur oleh kekuatan ibadahnya semata. Tapi semua kemuliaan seorang yang paling benar Islamnya, yang paling baik imannya, yang paling dicintai oleh Allah, yang paling tinggi kedudukannya dalam pandangan Allah dan yang akan menemani Rasulullah saw. ternyata sangat khas, yaitu orang yang paling bertakwa kepada-Nya. Orang yang mulia akhlaknya, taat beribadah, dan ikhlas.
Allah menciptakan jin dan manusia kemudian memerintahkan mereka untuk taat, bukan karena Allah membutuhkan ketaatan makhluk-Nya. Sungguh, semua perintah dari Allah adalah karunia agar kita menjadi terhormat, mulia, dan bisa kembali ke tempat asal mula kita yaitu surga. Jadi kalau kita masuk neraka, naudzubillah, sama sekali bukan karena kurangnya karunia Allah, tapi karena saking gigihnya kita ingin jadi ahli neraka, yaitu dengan banyaknya melakukan perbuatan maksiat dan dosa.
Allah swt. Mahatahu bahwa kita memiliki kecenderungan untuk lebih ringan kepada hawa nafsu dan lebih berat pada ketaatan. Oleh karena itu, jika kita mendapat perintah dari Allah, dalam bentuk apa pun, si nafsu ada kecenderungan berat untuk melakukannya, bahkan tak segan-segan untuk menolaknya.
Misalnya ibadah shalat, kita cenderung ingin melambatkan. Urusan shaf saja, tidak banyak orang yang mau berebutan menempati shaf pertama. Amati saja, justru shaf belakang cenderung lebih banyak diminati. Perintah shalat memang banyak yang melakukan, tetapi belum tentu semua melakukannya tepat waktu. Begitu juga dengan tepat waktu, belum tentu juga bersungguh-sungguh khusyu. Bahkan ada—mungkin salah satunya kita—yang justru melaksanakan shalat dengan pikiran yang melantur, melayang-layang tak karuan, sehingga tak jarang banyak program atau urusan duniawi yang kita selesaikan dalam shalat. Dan yang lebih parah lagi, kita tidak merasa bersalah karenanya.
Saat menafkahkan rezeki untuk sedekah, si nafsu akan membuat seakan-akan sedekah itu akan mengurangi rezeki kita, bahkan pada lintasan berikutnya sedekah ini akan dianggap membuat kita tidak punya apa-apa. Padahal, sungguh sedekah tidak akan mengurangi rezeki, bahkan akan menambah rezeki kita. Namun, karena nafsu tidak suka kepada sedekah, maka jajan justru lebih disukai.
Sungguh, kita telah diperdaya dengan rasa malas ini. Bahkan saat malas beribadah, otak kita pun dengan kreatif akan segera berputar untuk mencari dalih ataupun alasan yang dipandang logis dan rasional. Sehingga apa-apa yang kita lakukan karena malas, seolah-olah mendapat legitimasi karena alasan kita yang logis dan rasional itu, bukan semata-mata karena malas. Betapa hawa nafsu begitu pintar mengelabui kita. Lalu, bagaimana cara kita mengatasi semua kecenderungan negatif ini dari diri kita?
Cara yang paling baik yang harus kita lakukan adalah kegigihan kita melawan kemalasan diri. Kecenderungan malas itu kalau mau diikuti terus-menerus akan tidak ada ujungnya, bahkan akan terus membelit kita menjadi seorang pemalas kelas berat. Na’udzubillah. Berangkat ke masjid, maunya dilambat-lambat, maka harusnya dilawan! Berangkat saja. Ketika terlintas, nanti saja wudhunya di masjid, lawan! Di masjid banyak orang, segera lakukan wudhu di rumah saja! Itu sunnah. Sungguh, orang yang wudhu di rumah lalu bergegas melangkahkan kakinya ke masjid untuk shalat, maka setiap langkahnya adalah penggugur dosa dan pengangkat derajat.
Sampai di masjid, paling nikmat duduk di tempat yang memudahkan dia keluar masjid, bahkan kadangkala tak sungkan untuk menghalangi orang lewat. Terlebih lagi bila memakai sandal bagus, ia akan berusaha sedekat mungkin dengan sandalnya, dengan alasan takut dicuri orang. Begitulah nafsu. Bagi orang yang menginginkan kebaikan, dia akan berusaha agar duduknya tidak menjadi penghalang bagi orang lain. Maka akan dicarinyalah shaf yang paling depan, sebagai shaf yang paling utama.
Sesudah shalat, ketika mau dzikir, kadang terlintas urusan pekerjaan yang harus diselesaikan. Maka bagi yang tekadnya kurang kuat, ia akan segera ngeloyor pergi, padahal dzikir tidak lebih dari sepuluh menit, ngobrol saja lima belas menit masih dianggap ringan.
Atau ada juga yang sampai pada tahap dzikir, diucapnya berulang-ulang, subhanallah … subhanallah. Tapi, pikiran melayang, entah ke mana saja. Misalnya, dia mengucapkan subhanallah tiga puluh tiga kali, tapi yang mengucapkannya dengan sadar dan penuh konsentrasi hanya satu kali. Atau ingatlah saat kita berdoa. Walaupun dilakukan, namun seringkali doa yang kita lafalkan tidak kita hayati. Padahal, dzikir-dzikir dan doa yang kita ucapkan sebenarnya akan kembali kepada diri kita juga.
Oleh karena itu, bila muncul rasa malas untuk beribadah, itu berarti hawa nafsu berupa malas sedang merasuk menguasai hati. Segeralah lawan dengan mengerahkan segenap kemampuan yang ada, dengan cara segera melakukan ibadah yang dimalaskan tersebut. Sekali lagi, bengun dan lawan! InsyaAllah itu akan membuat kita lebih dekat kepada ketaatan. Janganlah karena kemalasan beribadah yang kita lakukan, menjadikan kita tergolong orang-orang munafik, na’udzubillah.
Firman Allah, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah, kecuali sedikit sekali.” (an-Nisaa’ : 142)
Ingatlah, kalau kita tergoda oleh bisikan hawa nafsu berupa kemalasan dalam beribadah, kita ini sebenarnya sedang menyusahkan diri sendiri, karena semua perintah itu adalah karunia Allah buat kemaslahatan diri kita juga.
Coba perhatikan, Allah menyuruh kita berdzikir, siapa yang mendapat pahala? Kita! Allah menyuruh kita berdoa, lalu doa itu dijabah. Buat siapa? Buat kita. Allah sedikit pun tidak ada kepentingan manfaat atau mudharat terhadap apa-apa yang kita lakukan.
Tepatlah ungkapan seorang ahli hikmah, “Allah mewajibkan kepadamu berbuat taat, padahal yang sebenarnya hanya mewajibkan kepadamu masuk ke dalam surga-Nya (dan tidak mewajibkan apa-apa kepadamu hanya semata-mata supaya masuk ke dalam surga-Nya).” Abul Hasan Ashadilly menasihatkan, “Hendaknya engkau mempunyai satu wirid, yang tidak engkau lupakan selamanya, yaitu mengalahkan hawa nafsu dengan lebih mencintai Allah swt..”
Maka kalau kita sengsara, kita susah, kita menderita, itu bukan karena siapa-siapa, itu semua karena perbuatan kita sendiri. Padahal sungguh, setiap desah napas yang kita embuskan adalah amanah Allah swt. dan sebagai wadah titipan yang harus kita isi dengan amal-amal kebaikan. Sedangkan hak Ketuhanan tetap berlaku pada tiap detik yang dilalui oleh seorang hamba. Abul Hasan lebih lanjut mengatakan, “Pada tiap waktu ada bagian yang mewajibkan kepadamu terhadap Allah swt. (yaitu beribadah).”
Jadi, sungguh sangat aneh jika kita bercita-cita ingin bahagia, ingin dimudahkan urusan, ingin dimuliakan, tapi justru amal-amal yang kita lakukan ternyata menyiapkan diri kita untuk hidup susah.
Seperti orang bercita-cita masuk surga, tapi amalan-amalan yang dipilih adalah amalan-amalan ahli maksiat. Maka dari itu, “paksalah diri” untuk taat kepada perintah Allah. Mudah-mudahan Allah yang melihat kagigihan kita senantiasa menunjukkan jalan kepada kita yang lebih mudah, lebih ringan, dan lebih ikhlas dalam mengenal serta menunaikan segala perintah-Nya. Amin.
Wallahu a’lam.

(K.H. Abdullah Gymnastiar || Meraih Bening Hati dengan Manajemen Qolbu : 50 - 54)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar