“Orang
mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan
paling lemah lembut terhadap keluarganya.” (HR. Bukhari Muslim)
“Orang
mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan
sebaik-baik kamu ialah yang paling baik kepada istrinya.”
(HR. Tirmidzi)
Para suami sepatutnya
benar-benar menyadari bahwa dalam pandangan Islam sebaik-baik laki-laki adalah
laki-laki yang paling lemah lembut dan paling baik sikapnya kepada istri,
keluarga, serta anak-anaknya. Jadi, jika seorang suami bersikap berangasan, galak, atau kasar, walaupun
mempunyai pangkat dan jabatan yang tinggi, memiliki ilmu yang banyak,
menyandang gelar mentereng,
sebetulnya belum menjadi laki-laki yang baik.
Memang, boleh jadi
karena satu dan lain hal, istri terkadang membuat jengkel atau sulit menaati
suami. Namun, sebenarnya yang paling penting untuk dipikirkan adalah
kepribadian sang suami itu sendiri. Mengapa? Karena, seorang suami akan sulit
untuk mengubah istri atau anak-anaknya kea rah yang lebih baik, jika si suami
sendiri belum mengubah perilakunya menjadi baik.
Ironisnya,
kadang-kadang suami lebih banyak menuntut dan menyalahkan istri apabila ada
hal-hal yang dianggapnya tidak baik. Misalnya, ketika sang anak malas belajar
atau beribadah, suami sibuk menyalahkan istri. Istri dianggap tidak bisa
memperhatikan anak, tidak mampu mendidik, dan sebagainya. Padahal, persoalan
mendidik anak bukan semata-mata tanggung jawab istri.
Sesungguhnya, kewajiban
suami itu bukan hanya mencari uang atau mencari nafkah lahir, tetapi seorang
suami juga mempunyai kewajiban untuk menanamkan visi dalam rumah tangga. Hendak
dibawa ke mana rumah tangganya? Di samping itu, selayaknya seorang suami dapat
menjadi suri teladan bagi istri dan anak-anak, serta mampu mengontrol moral
keluarganya agar tetap terkendali.
Suami pun memiliki
kewajiban untuk menata kesempurnaan ibadah, serta kebaikan akhlak dan moral
keluarganya. Oleh karena itu, mengurus rumah tangga idealnya menempati porsi
atau alokasi pemikiran khusus dari seorang suami. Bukan Cuma mengandalkan
perhatian sepintas atau perhatian kedua setelah urusan pekerjaan.
Dalam hadits di atas,
akhlak yang baik serta perilaku lemah lembut dari seorang suami memang sangat
ditekankan. Tentu saja, Rasulullah Muhammad saw. teramat patut untuk dijadikan
sebagai sosok panutan suami ideal. Nabi Muhammad saw. begitu halus dan lemah
lembut sikapnya kepada istri-istri beliau. Beliau tidak pernah marah dengan
kata-kata kasar.
Kalaupun beliau marah,
beliau hanya akan mendiamkan saja. Dan, itu pun adalah bagian dari pendidikan
yang beliau berikan kepada istrinya. Bahkan, suatu ketika diriwayatkan bahwa
saat Rasul pulang larut malam, ternyata Siti Aisyah sudah tertidur. Rasulullah
tidak menggedor pintu lalu marah-marah.
Begitu lembutnya beliau kepada istri, Rasulullah yang mulia pun tidur di teras
rumah tanpa membangunkan Siti Aisyah.
Di sini, berkali-kali
disebutkan tentang kelembutan. Sebab walau bagaimanapun, seorang suami adalah
pemimpin dalam keluarga. Dan kalau tidak hati-hati, seseorang yang merasa
dirinya sebagai pemimpin, dalam skala apa pun, cenderung menggunakan kekerasan.
Hal inilah yang tampaknya patut digarisbawahi.
Cobalah kita lihat
masyarakat kita sekarang! Ada pencuri ayam, ditangkap ramai-ramai lalu dibakar
sampai menggelinjang-gelinjang. Bayangkan! Bagaimana mungkin kita yang
mempunyai peradaban senang melihat manusia dibakar? Na’udzubillahimindzalik. Lalu apa hubungannya? Bisa jadi, semua ini
merupakan salah satu indikasi bahwa rumah tangga kita masih banyak ditegakkan
dengan kekerasan.
Seharusnya disadari
bahwa kantor dengan rumah itu berbeda. Apalagi—maaf, ini sekadar contoh—kalau
di kantornya si bapak adalah pelatih pasukan tempur, maka standar perilaku di
kantor dengan di rumah itu harus berbeda. Di kantor, yang dilatih itu memang
pasukan yang ketika mendaftar juga sudah siap dengan segala resikonya, tapi
istri bukan pasukan tempur, istri pasukan dapur.
Begitu juga jika bapak
adalah pelatih beladiri, maka jangan menjadikan anak-anak sebagai alat latihan,
ditampar, disuruh jungkir-balik, merayap, dan sebagainya. Apa pun bentuknya,
peraturan di tempat kerja dengan di rumah itu berlainan sehingga untuk hal-hal
tertentu jangan dijadikan standar perilaku di rumah.
Maka dari itu, sekarang
usahakan satu saja, cobalah berlaku lemah lembut. Kekerasan di dalam Islam itu
sangat menjadi alternatif terakhir, bahkan bersabar itu lebih baik apalagi
kepada istri yang kita pilih sendiri. Dalam Al-Quran surah an-Nisaa’ ayat 19
Allah swt. berfirman,
“…
Dan bergaullah dengan mereka (istri) secara patut. Kemudian bila kamu tidak
menyukai mereka (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu,
padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
Apabila istri tidak
taat kepada suami, bisa jadi suaminya belum layak ditaati. Suami harus berani
mengevaluasi diri. Ibarat ada bisul terus dibelai, tentu orang menjadi marah
bukan karena belaiannya, tapi karena bisulannya. Kekerasan itu bukan alternatif
yang sangat penting, melainkan lemah lembutlah yang bisa mendobrak kekerasan.
Aspek-aspek lain yang
juga harus diperhatikan oleh seorang suami ketika mendidik keluarga adalah
perkataan yang harus menjamin kebenarannya. Jangan sampai seorang suami
berbohong sedikit pun kepada anak dan istrinya, kecuali untuk hal-hal positif
yang ditujukan untuk menyenangkan hati mereka, seperti memuji masakan atau
dandanannya.
Selanjutnya, bila
memperingatkan sesuatu harus tepat situasi dan kondisi. Jangan sampai ketika
bicara tidak tepat sikonnya, karena
orang yang sedih dengan orang yang gembira itu berbeda situasi hatinya. Lalu,
jika berbicara jangan sampai menyusahkan. Suami yang baik, kata-katanya itu
harus yang enak. Jangan bicara yang membuat istri tertekan.
Misalkan, istri
mempunyai kekurangan pada tubuhnya, jangan disebut-sebut. Istri mempunyai masa
lalu jangan diunngkit-ungkit. Istri mempunyai orang tua yang memiliki suatu
kekurangan, jangan sekali-kali dibeberkan. Jangan membuat orang susah
perasaannya. Dan terakhir, seorang suami yang baik itu, kalau berbicara dapat
member manfaat.
Nabi Muhammad saw.
sangat memuliakan sekali istri-istrinya. Di rumah membantu pekerjaan
istri-istrinya. Bahkan, Rasulullah saw. memanggil istrinya itu dengan panggilan
kesayangan “Humairah” atau “yang
kemerah-merahan”. Artinya, carilah apa yang membuat istri senang. Beliau
benar-benar senang bercengkrama dengan keluarganya. Anak-istri beliau
dibahagiakan dan dimuliakan dengan bimbingan ukhrawi.
Seorang suami memang
sudah seharusnya mampu membimbing istri agar berakhlak mulia. Kalau mempunyai
uang, dibimbing supaya menjadi ahli shadaqah.
Kalau ada waktu,, dibimbing supaya waktunya bermanfaat. Jadi, apabila suami
memberi uang ke ibu, itu belum tentu identik dengan kasih sayang, tapi jika
diiringi dengan membimbing ibu menjadi ahli shadaqah,
itulah kasih sayang.
Yang paling penting
dari semua ini adalah selain suami harus berlemah lembut, menjadi contoh, dan
mendidik, adalah bagaimana suami mendidik anak-anaknya agar dapat mengenal
Allah dan bisa tahu arti hidup ini agar bisa mengarungi hidup ini di jalan
Allah. Tidak cukup hanya membawa uang, tapi anak harus tahu bagaimana
mensyukuri uang, bagaimana menafkahkan uang di jalan Allah.
Kehormatan seorang
suami bukan karena gelar, pangkat, kedudukan, harta, jabatan, atau popularitas.
Yang namanya kemuliaan itu kalau kita mempunyai kemampuan untuk jujur pada diri
sendiri dan senantiasa memperbaiki diri agar tidak menyimpang dari jalan Allah.
Sehingga walaupun dia tidak dikenal, dia pekerja yang memungut sampah, dia
pembantu di rumah, tapi bisa jadi lebih bagus daripada majikannya yang
mempunyai status jabatan yang lebih tinggi. Lebih dari itu, ia mampu membimbing
keluarganya menuju ridha Ilahi.
Wallahu
a’lam.
(K.H.
Abdullah Gymnastiar || Meraih Bening Hati dengan Manajemen Qolbu : 74 - 78)
0 komentar:
Posting Komentar