Mudah-mudahan Allah
swt. Yang Maha Mengetahui siapa diri kita yang sebenarnya, menolong kita agar
dapat mengetahui kekurangan yang harus diperbaiki, memberi tahu jalan yang
harus ditempuh, dan memberikan karunia berupa semangat yang tidak pernah pudar,
sehingga kita tidak dikalahkan oleh kemalasan, tidak dikalahkan oleh kebosanan,
dan tidak dikalahkan oleh hawa nafsu.
Mudah-mudahan pula
warisan terbaik diri kita yang dapat diwariskan kepada keluarga, keturunan, dan
lingkungan adalah keindahan akhlak kita. Karena ternyata keislaman seseorang
tidak diukur oleh luasnya ilmu. Keimanan seseorang tidak diukur oleh hebatnya
pembicaraan.
Kedudukan di sisi Allah
tidak juga diukur oleh kekuatan ibadahnya semata. Tapi semua kemuliaan seorang
yang paling benar Islamnya, yang paling baik imannya, yang paling dicintai oleh
Allah, yang paling tinggi kedudukannya dalam pandangan Allah dan yang akan
menemani Rasulullah saw. ternyata sangat khas, yaitu orang yang paling bertakwa
kepada-Nya. Orang yang mulia akhlaknya, taat beribadah, dan ikhlas.
Allah menciptakan jin
dan manusia kemudian memerintahkan mereka untuk taat, bukan karena Allah
membutuhkan ketaatan makhluk-Nya. Sungguh, semua perintah dari Allah adalah
karunia agar kita menjadi terhormat, mulia, dan bisa kembali ke tempat asal
mula kita yaitu surga. Jadi kalau kita masuk neraka, naudzubillah, sama sekali bukan karena kurangnya karunia Allah,
tapi karena saking gigihnya kita ingin jadi ahli neraka, yaitu dengan banyaknya
melakukan perbuatan maksiat dan dosa.
Allah swt. Mahatahu bahwa
kita memiliki kecenderungan untuk lebih ringan kepada hawa nafsu dan lebih
berat pada ketaatan. Oleh karena itu, jika kita mendapat perintah dari Allah,
dalam bentuk apa pun, si nafsu ada kecenderungan berat untuk melakukannya,
bahkan tak segan-segan untuk menolaknya.
Misalnya ibadah shalat,
kita cenderung ingin melambatkan. Urusan shaf saja, tidak banyak orang yang mau
berebutan menempati shaf pertama. Amati saja, justru shaf belakang cenderung
lebih banyak diminati. Perintah shalat memang banyak yang melakukan, tetapi
belum tentu semua melakukannya tepat waktu. Begitu juga dengan tepat waktu,
belum tentu juga bersungguh-sungguh khusyu. Bahkan ada—mungkin salah satunya
kita—yang justru melaksanakan shalat dengan pikiran yang melantur,
melayang-layang tak karuan, sehingga tak jarang banyak program atau urusan
duniawi yang kita selesaikan dalam shalat. Dan yang lebih parah lagi, kita
tidak merasa bersalah karenanya.
Saat menafkahkan rezeki
untuk sedekah, si nafsu akan membuat seakan-akan sedekah itu akan mengurangi
rezeki kita, bahkan pada lintasan berikutnya sedekah ini akan dianggap membuat
kita tidak punya apa-apa. Padahal, sungguh sedekah tidak akan mengurangi
rezeki, bahkan akan menambah rezeki kita. Namun, karena nafsu tidak suka kepada
sedekah, maka jajan justru lebih disukai.
Sungguh, kita telah
diperdaya dengan rasa malas ini. Bahkan saat malas beribadah, otak kita pun
dengan kreatif akan segera berputar untuk mencari dalih ataupun alasan yang
dipandang logis dan rasional. Sehingga apa-apa yang kita lakukan karena malas,
seolah-olah mendapat legitimasi karena alasan kita yang logis dan rasional itu,
bukan semata-mata karena malas. Betapa hawa nafsu begitu pintar mengelabui
kita. Lalu, bagaimana cara kita mengatasi semua kecenderungan negatif ini dari
diri kita?
Cara yang paling baik
yang harus kita lakukan adalah kegigihan kita melawan kemalasan diri. Kecenderungan
malas itu kalau mau diikuti terus-menerus akan tidak ada ujungnya, bahkan akan
terus membelit kita menjadi seorang pemalas kelas berat. Na’udzubillah. Berangkat ke masjid, maunya dilambat-lambat, maka
harusnya dilawan! Berangkat saja. Ketika terlintas, nanti saja wudhunya di
masjid, lawan! Di masjid banyak orang, segera lakukan wudhu di rumah saja! Itu sunnah.
Sungguh, orang yang wudhu di rumah lalu bergegas melangkahkan kakinya ke masjid
untuk shalat, maka setiap langkahnya adalah penggugur dosa dan pengangkat
derajat.
Sampai di masjid,
paling nikmat duduk di tempat yang memudahkan dia keluar masjid, bahkan
kadangkala tak sungkan untuk menghalangi orang lewat. Terlebih lagi bila
memakai sandal bagus, ia akan berusaha sedekat mungkin dengan sandalnya, dengan
alasan takut dicuri orang. Begitulah nafsu. Bagi orang yang menginginkan
kebaikan, dia akan berusaha agar duduknya tidak menjadi penghalang bagi orang
lain. Maka akan dicarinyalah shaf yang paling depan, sebagai shaf yang paling
utama.
Sesudah shalat, ketika
mau dzikir, kadang terlintas urusan pekerjaan yang harus diselesaikan. Maka bagi
yang tekadnya kurang kuat, ia akan segera ngeloyor
pergi, padahal dzikir tidak lebih dari sepuluh menit, ngobrol saja lima belas menit masih dianggap ringan.
Atau ada juga yang
sampai pada tahap dzikir, diucapnya berulang-ulang, subhanallah … subhanallah. Tapi, pikiran melayang, entah ke mana
saja. Misalnya, dia mengucapkan subhanallah
tiga puluh tiga kali, tapi yang mengucapkannya dengan sadar dan penuh
konsentrasi hanya satu kali. Atau ingatlah saat kita berdoa. Walaupun dilakukan,
namun seringkali doa yang kita lafalkan tidak kita hayati. Padahal,
dzikir-dzikir dan doa yang kita ucapkan sebenarnya akan kembali kepada diri
kita juga.
Oleh karena itu, bila
muncul rasa malas untuk beribadah, itu berarti hawa nafsu berupa malas sedang
merasuk menguasai hati. Segeralah lawan dengan mengerahkan segenap kemampuan
yang ada, dengan cara segera melakukan ibadah yang dimalaskan tersebut. Sekali lagi,
bengun dan lawan! InsyaAllah itu akan
membuat kita lebih dekat kepada ketaatan. Janganlah karena kemalasan beribadah
yang kita lakukan, menjadikan kita tergolong orang-orang munafik, na’udzubillah.
Firman Allah, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu
Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk
shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di
hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah, kecuali sedikit sekali.”
(an-Nisaa’ : 142)
Ingatlah, kalau kita
tergoda oleh bisikan hawa nafsu berupa kemalasan dalam beribadah, kita ini
sebenarnya sedang menyusahkan diri sendiri, karena semua perintah itu adalah
karunia Allah buat kemaslahatan diri kita juga.
Coba perhatikan, Allah
menyuruh kita berdzikir, siapa yang mendapat pahala? Kita! Allah menyuruh kita
berdoa, lalu doa itu dijabah. Buat siapa? Buat kita. Allah sedikit pun tidak
ada kepentingan manfaat atau mudharat terhadap apa-apa yang kita lakukan.
Tepatlah ungkapan
seorang ahli hikmah, “Allah mewajibkan kepadamu berbuat taat, padahal yang
sebenarnya hanya mewajibkan kepadamu masuk ke dalam surga-Nya (dan tidak
mewajibkan apa-apa kepadamu hanya semata-mata supaya masuk ke dalam surga-Nya).”
Abul Hasan Ashadilly menasihatkan, “Hendaknya engkau mempunyai satu wirid, yang
tidak engkau lupakan selamanya, yaitu mengalahkan hawa nafsu dengan lebih
mencintai Allah swt..”
Maka kalau kita
sengsara, kita susah, kita menderita, itu bukan karena siapa-siapa, itu semua
karena perbuatan kita sendiri. Padahal sungguh, setiap desah napas yang kita
embuskan adalah amanah Allah swt. dan sebagai wadah titipan yang harus kita isi
dengan amal-amal kebaikan. Sedangkan hak Ketuhanan tetap berlaku pada tiap
detik yang dilalui oleh seorang hamba. Abul Hasan lebih lanjut mengatakan, “Pada
tiap waktu ada bagian yang mewajibkan kepadamu terhadap Allah swt. (yaitu
beribadah).”
Jadi, sungguh sangat
aneh jika kita bercita-cita ingin bahagia, ingin dimudahkan urusan, ingin
dimuliakan, tapi justru amal-amal yang kita lakukan ternyata menyiapkan diri
kita untuk hidup susah.
Seperti orang
bercita-cita masuk surga, tapi amalan-amalan yang dipilih adalah amalan-amalan
ahli maksiat. Maka dari itu, “paksalah diri” untuk taat kepada perintah Allah. Mudah-mudahan
Allah yang melihat kagigihan kita senantiasa menunjukkan jalan kepada kita yang
lebih mudah, lebih ringan, dan lebih ikhlas dalam mengenal serta menunaikan
segala perintah-Nya. Amin.
Wallahu
a’lam.
(K.H.
Abdullah Gymnastiar || Meraih Bening Hati dengan Manajemen Qolbu : 50 - 54)
0 komentar:
Posting Komentar