Belakangan ini kita
sering mendengar berita-berita yang sangat menyayat hati umat islam, di
antaranya tentang pengepungan Masjidil Aqsha dan seluruh kota di Palestina oleh
pasukan Israel. Bisa kita bayangkan, betapa mencekamnya ketika rumah-rumah
warga muslim Palestina dikepung. Bahkan dikabarkan, tidak sedikit rumah yang
didobrak, kemudian isinya diobrak-abrik, lantas aliran listrik dan airnya
diputus. Saat itu, saudara-saudara kita begitu terisolasi, hingga dari hari ke
hari persediaan makanan mereka kian menipis.
Fenomena seperti itu
tidak hanya terjadi di Palestina. Beberapa waktu lalu, lima orang warga muslim
di India dibakar hidup-hidup, setelah sebelumnya satu gerbong kereta yang berisi
sekitar 40 orang muslim juga dibakar. Di Afghanistan, konflik bersenjata untuk
menekan kaum muslimin juga terus berlangsung. Begitupun umat Islam di Filipina
yang hidupnya masih terus teraniaya dan terpinggirkan.
Jika hanya mengandalkan
emosi, mungkin ingin rasanya kita terbang ke daerah-daerah tersebut untuk
membantu saudara-saudara kita. Namun apakah itu adalah jalan keluar yang
menyelesaikan masalah? Kita memang sudah seharusnya turut memikirkan nasib
saudara-saudara kita di sana, karena sesungguhnya setiap mukmin itu bersaudara,
innamal mukminuuna ikhwah. Dan bukankah
sesama saudara itu layaknya satu tubuh? Di mana ketika salah satu organnya
sakit maka organ tubuh yang lain pun akan turut merasakannya.
Akan tetapi, dalam
mengambil tindakan pun kita harus benar-benar proporsional. Jangan sampai
tindakan tersebut hanya mengandalkan emosi tanpa memperhatikan keseimbangan
akal dan pikiran. Tindakan kita juga semestinya tidak hanya reaktif untuk
jangka pendek. Kita harus berpikir, mengapa Allah menakdirkan ini menimpa kita?
Mengapa orang-orang Israel yang jumlahnya hanya sekitar lima juta bisa membuat
repot umat Islam di Timur Tengah dan Jazirah Arab yang jumlahnya begitu banyak?
Harus diakui, umat
Islam memang masih dalam keadaan lemah dan tercerai berai. Maka tidak perlu
heran jika Allah mengizinkan oran-orang zalim memperdaya kita. Dengan kata
lain, musibah yang menimpa umat ini bisa jadi akibat kelakuan kita sendiri.
Jadi kita harus
bagaimana? Yang paling minimal, kita harus merasa sedih. Jangan sampai hati
kita tidak tersayat ketika melihat saudara-saudara kita teraniaya. Usahakanlah setiap
habis shalat mendoakan mereka. Siapa tahu dengan seuntai doa kita, sebuah
peluru tidak jadi mengenai bocah mungil di Palestina. Siapa tahu dengan doa
kita, pukulan popor senjata tentara
Israel tidak dirasakan sakit oleh warga muslim Palestina. Siapa tahu dengan doa
kita, seorang muslimah yang akan dicelakakan terlindungi. Yakinlah, Allah
Mahadekat dengan setiap makhluk-makhluk-Nya.
Di samping itu, kita
juga harus senantiasa menginstrospeksi diri, terutama dalam memaknai suatu
ujian. Selama ini, kita masih sering menganggap cobaan itu dating hanya
berbentuk kesulitan, sehingga di kala dalam kesulitan, manusia biasanya
cenderung lebih dekat dengan Allah. Oleh karena itu, jika manusia diuji dengan
kesulitan banyak yang selamat. Namun ketika diuji dengan kemudahan, manusia
cenderung menjadi lalai sehingga sedikit yang selamat.
Saat diuji dengan
kesulitan ekonomi, banyak orang yang menjadi dekat dengan Allah. Tapi ketika
diuji dengan melimpahnya harta, malah sulit sekali mengingat Allah. Pada saat
diberi cobaan sakit, hamper setiap waktu menyebut nama Allah. Namun ketika
diuji dengan kesehatan, untuk mengucap Alhamdulillah
saja teramat sulit. Diuji dengan caci-maki, bisa mengadu kepada Allah. Tetapi diuji
dengan pujian, peluang sombong malah menjadi besar. Padahal pujian orang kepada
kita muncul hanya karena mereka tidak tahu kejelekan kita.
Dengan demikian, kita
memang harus berlindung dalam segala situasi. Jadi kalau kita sedang diuji
dengan kesusahan, kita dekati Allah. Dan ketika dilapangkan, usahakan agar kita
lebih mendekati Allah lagi. Semoga dengan begitu Allah lebih melanggengkan
kelapangan.
Sebagaimana firman
Allah dalam Al-Quran surah Ibrahim ayat 7, “Dan
(ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.’”
Kita prihatin dengan
saudara kita di Palestina. Namun jangan
menyangka mereka itu tersiksa lahir batin. Bisa jadi mereka itu justru
mendapatkan banyak pertolongan dari Allah. Bahkan boleh jadi cobaan yang lebih
dahsyat justru ada di negara kita ini. Kemudahan melihat kemaksiatan, kemudahan
mendengar kemaksiatan, kemudahan berbuat kemaksiatan, adalah cobaan yang
sebenarnya jauh lebih berat.
Kadang-kadang
ketegangan jusrtu membuat orang benar-benar akrab dengan Allah. Saudara-saudara
kita di Palestina itu mungkin ilmunya banyak dan dzikrullah-nya luar biasa, sehingga mereka semakin gigih berlindung
kepada Allah. Setiap ancaman, setiap gedoran pintu, setiap letusan senjata,
setiap ledakan bom dapat menjadi ladang pahala besar karena diiringi dengan
keakraban dengan Allah.
Tapi kita? Mau berangkat
kerja, naik angkot berpeluang mendekati kemaksiatan. Di rumah nonton televise,
boleh jadi disuguhi acara yang sarat kemaksiatan. Di jalanan, di kantor, di mal-mal, peluang untuk terjadinya
kemaksiatan amar besar. Anehnya, kita justru tidak merasa itu sebagai sebuah
cobaan.
Nah, makanya
keprihatinan kita terhadap saudara kita di Palestina betul-betul harus membuat
kita semakin waspada. Jangan-jangan kita punya cobaan yang tidak terasa,
seperti kemudahan, kelapangan, pujian, dan sebagainya. Ada sebuah teori yang
kiranya dapat membantu kita agar selamat dalam menghadapi fenomena kehidupan
yang sarat dengan ujian, yakni teori “ikan asin”. Coba kita perhatikan ikan di
laut, walaupun dikelilingi oleh air asin ikan itu sendiri tidak ikut menjadi
asin. Tapi ketika ikan sudah mati, lalu diberi sedikit garam, maka tak lama
kemudian ia menjadi asin. Pertanyaannya, mengapa waktu di laut ikan itu tidak
asin tetapi sesudah mati malah cepat menjadi asin? Sebab, di laut dia hidup!
Artinya, meskipun di
mana-mana cobaan, kalau hati kita hidup dengan ilmu dan dzikir kepada Allah,
kita tidak akan terpengaruh oleh kemaksiatan. Jadi, kalau kita ingin selamat menghadapi hidup, cobaan
apa pun baik kesusahan maupun kemudahan, maka perbanyaklah ilmu, dzikrullah, dan doa. Terus hidupkan hati
ini dengan ilmu, hidupkan hati ini dengan akrab kepada Allah, insya Allah kita
tidak akan hancur oleh hiruk-pikuk cobaan dalam kehidupan ini, baik berupa
kesulitan maupun kesenangan.
Mulai saat ini, marilah
kita sikapi setiap musibah dengan semakin mengenal Allah. Sebab, apabila
seseorang sudah dekat dengan Allah, dia akan sangat meyakini bahwa apa pun yang
terjadi adalah kehendak Allah. Seperti halnya yang telah Allah firmankan dalam
Al-Quran surah at-Taghaabun ayat 11, “Tidak
ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah. Dan
barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan member petunjuk kepada
hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Jadi kepedulian kita
terhadap saudara kita di Palestina harus benar-benar membuat kita sangat serius
menyibukkan diri kita dengan ilmu, karena hanya dengan ilmulah kita bisa mengenal
Allah, mengenal jalan untuk mendekat kepada-Nya. Zikir adalah fasilitas yang
meyakinkan untuk menghidupkan hati kita.
Dulu ada negara Uni
Soviet yang begitu adi kuasa, tapi akhirnya ambruk juga. Amerika, kita tidak
tahu, mungkin juga kalau Allah menghendaki bisa ambruk. Kita tidak membenci
Amerika, karena Amerika itu hanya sebuah negara yang tidak punya salah. Yang layak
kita benci adalah orang-orang yang berbuat zalim di dalamnya. Kita mau memusuhi
Amerika secara mutlak? Oh, tentu tidak bisa. Banyak saudara kita di sana. Yang kita
musuhi adalah kezaliman. Sebab bagaimanapun kezaliman itu tidak akan hidup!
Selalu saja ada masanya hukum keadilan berlaku. Seseorang yang zalim hanya akan
menerima buah kezalimannya pula.
Oleh karena itu, kita
harus membedakan kaum kafirin yang betul-betul zalim dan orang-orang yang belum
mengenal Allah. Mudah-mudahan Allah membimbing kita semua menyikapi hiruk-pikuk
ini dengan cara hidup yang tepat.
Dengan demikian, jika
bangsa Indonesia ingin bangkit, maka umat Islam yang sudah benar hatinya, harus
saling menyayangi. Kita boleh menjadi tentara, jaksa, wartawan, penulis,
arsitek, guru atau profeso apa saja, selama hati kita saling merindukan
kemuliaan, saling merindukan akhlak, saling merindukan martabat. Inilah yang
akan menjadi kekuatan kebangkitan umat. Insya Allah.
Wallahu
a’lam.
(K.H.
Abdullah Gymnastiar || Meraih Bening Hati dengan Manajemen Qolbu : 54 - 59)
0 komentar:
Posting Komentar