“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu batalkan sedekahmu dengan
menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang
membelanjakan hartanya karena riya kepada manusia dan tidak beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Perumpamaan mereka seperti batu yang licin yang di
atasnya tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia
bersih (tidak bertanah). Mereka tidak memperoleh apa pun dari apa yang mereka
usahakan dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang kafir.”
(al-Baqarah : 264)
Sungguh beruntung bagi
orang-orang yang tidak dihinggapi penyakit riya serta tidak disiksa oleh
kerinduan untuk dipuji dan dihormati orang lain. Sebaliknya, kita akan sengsara
manakala terlalu banyak memikirkan penilaian orang lain kepada kita. Terlalu
memikirkan penilaian orang lain dalam perkara-perkara duniawi hanya akan
membuat kita menjadi tersiksa saja. Akan tetapi, lebih tersiksa lagi jika hal
tersebut dikaitkan dengan perkara-perkara ibadah, sebab semua amalan kita
mungkin saja akan sirna.
Maka berbahagialah bagi
orang-orang yang merindukan kemuliaan dan kebaikan. Kalau kita memamerkan amal
dan segala sesuatu yang kita banggakan pada orang lain, misalnya saja
menceritakan perjalanan belanja ke luar negeri sambil memperlihatkan
barang-barang bermerek yang telah dibeli dengan harapan mendapatkan sanjungan
dari orang lain, kita akan sangat tersiksa karena harus menguras energi agar
terlihat beda dan lebih unggul dari orang lain.
Kita juga akan merasa
bangga manakala kita atau salah seorang dari keluarga diterima di salah satu
perguruan tinggi negeri ternama di Indonesia, apalagi jika bisa sekolah di luar
negeri, jika hati kita sudah diserang penyakit riya, maka kita akan berusaha
membuat pengumuman besar agar orang lain tahu. Demikianlah kalau sudah diserang
penyakit riya ini, segala sesuatunya ingin selalu dipamerkan.
Rasulullah saw.
menyatakan bahwa riya termasuk perbuatan syirik kecil. Beliau bersabda,
“Sesungguhnya
Allah tidak melihat bentuk badan dan rupamu, tetapi Allah melihat niat dan
keikhlasan dalam hatimu.” (HR. Muslim)
Dalam hadits lain,
“Sesungguhnya
yang paling aku takuti atas kamu sekalian adalah syirik kecil.” Sahabat
bertanya, “Apakah syirik kecil itu, ya Rasulullah?” Rasulullah kemudian menjawab,
“Syirik paling kecil itu adalah riya.”
Dari hadits tersebut
dapat dipahami bahwa orang yang riya itu dianggap telah menyekutukan Allah.
Dan, yang paling membahayakan dari sikap riya itu adalah akan menyebabkan
hangusnya amalan yang telah kita lakukan. Seperti apa sebenarnya riya yang
menghanguskan amal itu? Semua amalan yang kita lakukan seharusnya ditujukan
hanya kepada Allah dan hanya untuk mendapatkan ridha-Nya. Akan tetapi, bila
tujuannya telah beralih pada keinginan untuk dipuji manusia, maka sikap seperti
itu akan menghapus nilai amal yang kita lakukan.
Sebagai contoh, saat
kita berada di masjid dekat rumah calon mertua, kita berusaha mati-matian untuk
mengumandangkan adzan dengan suara terbaik dengan harapan dapat penilaian
positif calon mertua. Sayangnya, ternyata mereka tidak berada di rumah dan
tentu saja kita akan merasa kecewa dan menyesal telah mengumandangkan adzan.
Dan parahnya, kita juga melewatkan shalat di masjid karena terlanjur kecewa dan
menyesal. Ada seseorang yang pergi berhaji,
tapi niatnya hanya ingin dipuji. Pulang dari Mekkah, jika dipanggil tak
mau nengok kalau tidak diembel-embeli
Pak Haji atau Ibu Hajjah. Tentu saja tidak seratus persen diterima, mungkin ini
hanya salah satu segmen yang tercuri dari hatinya. Kalau tidak haji, rasanya
seperti ada yang kurang di telinganya. Hati-hati!
Hati-hatilah ketika
kita menjadi imam di masjid! Luruskan dulu niat kita jangan sampai terbesit
dalam hati untuk mendapat pujian dari makmum karena bacaan kita tartil dan ayat-ayat yang dibaca adalah
ayat-ayat dari surah yang jarang dihafal banyak orang. Tidak ada perbedaan saat
menjadi imam atau pun shalat sendiri dalam membaca bacaan shalat, semuanya
harus tartil, benar, dan tertib
sesuai tuntunan Rasulullah saw.. Maka, hindarilah sikap riya karena akan
menyebabkan ibadah kira sia-sia dan tak ada harganya. Dan bukan itu saja, kita
juga akan mendapatkan neraka di akhirat nanti.
Oleh karena itu, selain
bisa beramal, kita harus mati-matian menjaga niat. Bagaimana cirinya orang yang
tidak ikhlas atau riya itu? Intinya, seseorang itu dinyatakan telah riya, jika
niatnya dalam melakukan sesuatu ditujukan untuk mendapatkan pujian dan
penilaian dari manusia, bukan dari Allah. Orang riya mudah dikenali, yaitu
terjadi perubahan saat ada orang lain yang melihat perbuatannya.
Saat sedang sendirian,
sesesorang membaca Al-Quran dengan asal-asalan, ketika datang orang lain, ia
akan mengubahnya dengan bacaan yang tartil
dan benar makhraj-nya. Dan saat orang
lain itu pergi, ia kembali pada kondisi semual, yaitu membacanya dengan
asal-asalan, asal bunyi, asal baca, dan tak peduli aka nisi dan maksudnya.
Sudah jelas orang ini tidak ikhlas walaupun yang dibacanya adalah Al-Quran.
Seperti kata sahabat Ali bin Abi Thalib r.a., ada atau tidak ada orang, jika
seseorang itu melakukan amalan dengan cara yang sama, sama-sama benar, maka
dinyatakan ia terhindar dari sikap riya.
Maka dari itu, jika
kita beramal atau berinfak, saat ada orang lain. Tapi, bukan berarti kita tidak
ikhlas jika amalan kita diketahui orang. Ada saatnya amalan kita itu perlu
diketahui orang lain sebagai satu cara untuk member contoh baik dan memotivasi
orang lain untuk berbuat lebih baik lagi. Seperti kita tahu bahwa amalan
Rasulullah itu tidak tersembunyi semuanya, sebagian amalannya diperlihatkan. Jika
tidak demikian, bagaimana kita sebagai umatnya mampu mencontoh beliau? Masalah
utamanya ada pada niat ikhlas di dalam hati; bukankah semua amalan itu
tergantung pada niatnya?
Kita akan membutuhkan
kunci jika ingik membuka pintu. Demikian juga jika ingin membuka pintu
keikhlasan hati kita maka kita juga membutuhkan kunci. Apa sebetulnya kunci
ikhlas itu? Ternyata, ikhlas itu berbanding lurus dengan tingkat keyakinan
kepada Allah. Makin kita yakin bahwa Allah itu Maha Pembalas, Maha Menyaksikan,
Maha Menguasai segala yang kita inginkan, maka kita makin sadar dan yakin bahwa
manusia berperan sebagai fasilitas untuk sampainya nikmat, rezeki, dan ujian
dari Allah. Walau mati-matian manusia memuji, jikalau Allah menghinakan kita,
maka kita tetap akan hina. Mati-matian orang mau member, kalau Allah menolak,
maka apa pun tidak akan pernah sampai pada kita.
Untuk apa kita cari
muka kepada orang lain, akan lebih baik jika kita mendapat tatapan Allah. Tidak
aka nada yang meleset pandangan dari Allah. Balasan dari Allah tidak akan
pernah tertukar. Itulah nikmatnya keikhlasan. Rasulullah saw. tidak pernah
dipusingkan oleh penilaian makhluk. Beliau selalu menjaga niatnya, tampak
ataupun tidak tampak, semua amalannya hanya ditujukan kepada Allah semata.
Wallahu
a’lam.
(K.H.
Abdullah Gymnastiar || Meraih Bening Hati dengan Manajemen Qolbu : 112 - 116)
0 komentar:
Posting Komentar