Selama ini bisa jadi
kita terlalu banyak menggunakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk sesuatu di
luar diri kita. Juga terlalu banyak energi dan potensi kita untuk memikirkan
kesalahan, keburukan, maupun kelalaian orang lain. Namun, ternyata sikap kita
yang kita anggap sebagai kebaikan itu tidak efektif untuk memperbaiki apa yang
kita anggap salah.
Banyak yang
menginginkan orang lain berubah, tapi ternyata yang diinginkannya tak kunjung
terwujud. Kita sering melihat orang yang menginginkan Indonesia berubah. Akan
tetapi, pada saat yang bersamaan, ternyata keluarganya “babak belur”, di kantor
sendiri tak disukai, di lingkungan masyarakat tak bermanfaat. Itu namanya
terlampau muluk.
Jangankan mengubah
Indonesia, mengubah anaknya saja tidak mampu. Banyak yang menginginkan situasi
negara berubah, tapi mengapa mengubah sikap istri saja tidak sanggup? Mungkin
salah satu jawabannya adalah karena kita tidak pernah mempunyai waktu yang
memadai untuk bersungguh-sungguh mengubah diri sendiri. Tentu saja, jawaban ini
tidak mutlak benar, namun kiranya patut direnungkan baik-baik.
Oleh karenanya, cobalah
untuk berpikir tentang diri sendiri. Tapi bukankah orang yang memikirkan diri
sendiri itu orang yang egois? Memang, pandangan itu ada benarnya jika kita
memikirkan diri sendiri lalu hasilnya juga untuk diri sendiri. Tapi yang
dimaksud di sini adalah memikirkan diri sendiri, justru sebagai upaya sadar dan
sungguh-sungguh untuk memperbaiki yang lebih luas.
Perumpamaan yang lebih
jelas untuk pandangan ini adalah seperti kita membangun fondasi untuk membuat
rumah. Apalah artinya kita memikirkan dinding, memikirkan genteng, memikirkan
tiang sehebat apa pun, kalau fondasinya
tidak pernah kita bangun.
Mengubah diri dengan
sadar, sebenarnya sama dengan mengubah orang lain. Walaupun dia tidak mengucap
sepatah kata pun untuk perubahan itu, perbuatannya sudah menjadi ucapan yang
sangat berarti bagi orang lain. Percayalah, kegigihan kita memperbaiki diri
akan membuat orang lain melihat dan merasakannya.
Di lain pihak, jika
seseorang tidak pernah berusaha mengubah dirinya, dia pasti akan sulit dengan
perubahan yang secara alamiah terus terjadi setiap hari dalam hidupnya.
Sesungguhnya, sebesar apa pun dosa kita, pengampunan Allah lebih besar lagi,
selama kita mau bertobat. Dan, salah satu wujud bukti tobat adalah kegigihan
untuk memperbaiki diri.
Oleh karena itu, sudah
sepatutnya jika kita menanamkan keyakinan dalam diri kita bahwa “jika saya
tidak berubah, saya akan celaka”, “jika saya tidak mengubah diri, saya tidak
akan bisa mengubah apa pun atau siapa pun”, dan “jika saya tidak mengubah diri,
berarti saya akan menghancurkan hidup saya”.
Selanjutnya, kalau kita
mau terjadi perubahan dalam diri sendiri, kita tentunya harus mengetahui apa
yang harus diubah. Kuncinya yang pertama adalah kita harus mempunyai keberanian
untuk mengetahui kekurangan diri kita sendiri. Dengan keberanian inilah kita
akan lebihi mudah dalam mengubah diri. Kata kuncinya adalah keberanian. Berani
mengejek itu gampang, berani menghujat itu gampang, tapi, tidak sembarang orang
yang berani melihat kekurangan diri sendiri. Keberanian seperti inilah
sebenarnya yang menjadi milik orang-orang yang akan sukses sejati.
Orang yang berani
membuka kekurangan orang lain, itu biasa. Orang yang berani membincangkan orang
lain, itu tidak istimewa. Sebab, itu bisa dilakukan orang yang tidak punya
apa-apa sekalipun. Tapi, kalau ada orang yang berani melihat kekurangan diri
sendiri, bertanya tentang kekurangan itu secara sistematis, lalu dia buat sistem
untuk melihat kekurangan dirinya. Itulah yang luar biasa. Dengan demikian,
sejak sekarang milikilah kawan yang bisa menjadi kontributor dalam
memberitahukan kekurangan kita, bacalah buku-buku mengenai penyakit hati, dan
luangkan waktu untuk mencatat kekurangan diri.
Tahapan selanjutnya
adalah riyadhah atau latihan. Dalam
latihan harus ada program yang harus kita jalankan, contohnya membuat program
harian melenyapkan penyakit hati. Misalnya, sehari shaum ‘puasa’ bicara. Saya hanya mau menyatakan hal yang baik,
bermanfaat, dan kata-kata yang terpilih hari ini, besok boleh jadi terserah.
Setiap selesai shalat, kembali evaluasi, lalu bertobat, jadi kita bertemu
dengan perbaikan setiap waktu. Contoh lainnya adalah kita latihan agar setiap
uang yang kita dapat, kita sisihkan untuk amal.
Pilihlah latihan yang
isinya bersifat realistis dan lakukan secara bertahap. Terus saja lakukan
setiap hari memperbaiki diri, di kantor, dalam mendidik anak, atau di mana pun.
Sabarlah dalam memperbaiki diri dan melihat bahwa setiap hari orang dilahirkan
dengan karakteristik yang berbeda-beda. Sangat mungkin memakan waktu bisa satu
bulan, dua bulan bahkan bertahun-tahun. Hal yang terpenting adalah kita tetap
istiqamah dalam memperbaiki diri. Bukanlah hasil yang terpenting, setiap hasil
kita serahkan saja kepada Allah untuk menilai. Yakinlah, apabila orang
bersungguh-sungguh menuju Allah, maka
Allah akan lebih bersungguh-sungguh lagi menunjukkan jalan kepada-Nya.
Marilah kita bangkit
membangun bangsa ini dimulai dari kita-kita saja dahulu. Benahi diri kita
dengan baik sampai kita benar-benar dapat mengontrol diri kita sendiri. Mulai
dari mencoba menahan pandangan dengan menundukkan pandangan. Kemudian latih
diri kita dalam menahan pendengaran yang menjadikan jauh dari Allah. Menahan mulut
jangan mencela, jangan komentar, dan jangan mengeluh. Teruslah kendalikan
pendengaran, mulut, dan pandangan.
Kalau kita sudah dapat
mengendalikan diri dengan baik, maka ketika berbicara akan terdengar enak,
bergaul akan enak. Kita dapat lebih banyak menyelesaikan masalah di mana pun
kita berada. Karena sebenarnya, ketika kita menjadi orang tua yang bermasalah,
kita akan menghancurkan anak-anak kita, kita jadi bos yang bermasalah, kita
akan menghancurkan kantor kita
Jadi walaupun negara
benar, kalau kita tidak benar, kita sendirilah yang justru merusaknya. Solusi
yang tepat untuk menyehatkan bangsa ini adalah teruslah memperbaiki diri,
jangan lewatkan hari tanpa perbaikan, tiada hari tanpa tambah ilmu, tiada hari
tanpa riyadhah.
Sebenarnya, sejak saat
ini pula kita harus mulai membangun kembali jati diri kita. Apabila selama ini
kita mungkin sibuk bersembunyi di balik topeng. Baik itu topeng berupa sorban,
jas, gelar, pangkat, make up, kedudukan,
jabatan, dan sebagainya. Bukan tidak boleh kita pakai topeng, melainkan kita
harus hidup lebih baik daripada topeng yang menempel pada tubuh kita.
Marilah kita belajar
berhenti melihat akhlak orang lain, sebelum kita mengawali melihat akhlak diri
kita sendiri. Karena kesibukan kita melihat akhlak orang lain tanpa didasari
kesanggupan menilai akhlak kita sendiri, bisa jadi itulah yang memperburuk
akhlak kita. Marilah kita belajar menahan diri memperbaiki orang lain, sebelum
kita gigih sekali memperbaiki diri sendiri. Mengapa? Karena kesibukan kita
memperbaiki orang lain tanpa kita memperbaiki diri sendiri sebetulnya tidak
akan mengubah orang lain, karena pribadi kita pun tentunya menjadi contoh yang
buruk.
Memang pengaruh dari
kegigihan mengubah diri sendiri tidak akan spontan dirasakan. Tapi percayalah,
itu akan membekas dalam benak orang lain. Makin lama, bekas itu akan membuat
orang simpati dan terdorong untuk juga melakukan perubahan ke arah yang lebih
baik. Ini akan terus berimbas dan akhirnya seperti bola salju. Sehingga
perubahan bergulir semakin besar.
Jadi, kalau ada orang
yang bertanya tentang sulitnya mengubah anak, sulitnya mengubah istri,
jawabannya sebenarnya ada di dalam diri orang itu sendiri. Jangan dulu
menyalahkan orang lain, ketika mereka tidak mau berubah. Kalau kita sebagai
ustadz, kiai, jangan banyak menyalahkan santrinya. Tanya dulu diri sendiri.
Kalau kita sebagai pemimpin, jangan banyak menyalahkan karyawan, lihat dulu
diri kita sendiri seperti apa.
Kalau kita sebagai
pemimpin negara, jangan banyak menyalahkan rakyatnya. Lebih baik para penyelenggara
negara ini gigih memperbaiki diri sehingga bisa menjadi teladan. Insya Allah,
walaupun tanpa banyak berkata, dia akan membuat perubahan yang cepat terasa.
Marilah, mulai saat ini kita jadikan perkataan kita semakin halus, sikap kita
semakin mulia, etos kerja kita semakin sungguh-sungguh, dan ibadah kita kian
tangguh. Semoga dengan begitu kita menjadi contoh perubahan bagi orang-orang
dan juga lingkungan sekitar kita.
Wallahu
a’lam.
(K.H.
Abdullah Gymnastiar || Meraih Bening Hati dengan Manajemen Qolbu : 99 - 103)
0 komentar:
Posting Komentar