Ada seorang anak yang
datang pada seorang ustadz, kemudian
mengeluh tentang perbuatan ibunya. Dia mengatakan, “Ibu saya itu orangnya kuno
dan tidak berpendidikan. Akibatnya, saya merasa teraniaya menjadi anak.” Lalu
dengan tenang ustadz tersebut mengatakan, “Tulislah semua keburukan ibumu!”
Kemudian ditulislah keburukan-keburukan ibunya : ibuku orangnya pemarah, kurang
perhatian, pelit, suka mendendam, dan sebagainya. Setelah selesai, ustadz itu
pun kemudian berkata, “Sekarang tulis secara jujur apa jasa dan pengorbanan
ibumu!”
Akhirnya anak tersebut
merenung, “Sewaktu di perut ibu, sembilan bulan saya mengisap darahnya. Saat
itu, sulit berdiri dan berjalan berat, bahkan berbaring pun sakit. Tiga bulan
pertama mual dan muntah karena ada saya di perutnya. Ketika saya akan terlahir
ke dunia, ibu meregang nyawa antara hidup dan mati. Meskipun bersimbah darah
dan sakit tiada terperi, tapi ibu tetap rela dengan kehadiran saya. Setelah
lahir, satu per satu jari saya dihitungnya da dibelainya. Di tengah rasa sakit,
beliau tiba-tiba tersenyum dengan lelehan air mata bahagia melihat saya
terlahir. Dan, saat itu pula ibu menyangka akan lahir anak yang saleh yang
memuliakannya.”
Ketika sang anak
menulis terus pengorbanan ibunya, tak terasa berlinanglah air matanya. Semakin
sadar bahwa untaian pengorbanan ibunya sungguh tidak sebanding dengan kebaikan
yang telah ia perbuat untuk memuliakan ibunya. Bahkan, jika tubuh kita dikupas
tidak akan terbanding, tidak akan bisa menandingi perih pahitnya penderitaan
orang tua kita.
Dalam sebuah hadits,
Abu Hurairah r.a. berkata, “Telah datang kepada Rasulullah saw. seorang
laki-laki lalu bertanya, ‘Wahai Rasulullah, siapakah yang lebih berhak saya
pergauli dengan baik?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’
Dia bertanya lagi, ‘Kemudian siapa?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Dia bertanya lagi, ‘Kemudian siapa?’ ‘Ibumu.’ Dia bertanya lagi, ‘Kemudian siapa?’ Beliau menjawab, ‘Ayahmu.’” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Dari hadits tersebut,
jelaslah betapa Allah melalui lisan Rasulullah saw. benar-benar menilai
pengorbanan orang tua, khususnya ibu kita, sehingga tiga kali beliau
menyebutkan nama ibu sebelum ayah. Padahal, beliau sendiri hanya berjumpa
dengan ibunya satu tahun, yaitu dari usia lima sampai enam tahun. Namun, beliau
begitu mengajarkan penghormatan kepada ibunya, termasuk lagi ibunda kita semua.
Cobalah kita renungkan!
Pada waktu kita bayi, tidak kenal siang dan malam kita berbaring dan bangun
sesuka hati. Padahal, ibu kita hampir tidak tidur semalam suntuk. Rasanya,
beliau tidak rela bila ada satu ekor nyamuk pun yang mengigit tubuh kita.
Ketika kita kecil mulai nakal, ibu bahagia memamerkan diri kita kepada
tetangga-tetangganya. Walaupun untuk itu beliau begitu direpotkan, berutang
sana-sini agar kita punya sepatu dan berpakaian layak. Ketika menjelang
sekolah, ibu dan ayah sungguh-sungguh membanting tulang mencari nafkah, agar
kita bisa bersekolah seperti anak-anak yang lain. Walaupun mereka harus menahan
lapar, namun puas asal anak-anaknya bisa kenyang.
Namun dalam
kenyataannya, seiring pertumbuhan, tidak sebaik itu bakti kita kepada orang
tua. Semakin lama kita semakin besar, mata jadi sering sinis kepada orang tua
kita. Jangankan mencium tangan ibu, untuk sebuah senyum pun kita terkadang
berat untuk melakukannya. Bahkan, ucapan dan tindakan kita seakan seperti pisau
yang sering mengiris hatinya. Lebih dari itu, seringkali seorang anak begitu
mudah menyuruh-nyuruh orang tuanya. Tak ubahnya seperti pesuruh yang dihormati
sekadarnya. Padahal tenaga, keringat, dan darah mereka habis untuk membela
kita.
Lebih parah lagi, ada
sebagian anak yang tidak mau memuliakan orang tuanya. Manakala orang tua
semakin jompo dan si anak tidak mau mengurusnya, maka dititipkanlah orang
tuanya di panti jompo, astaghfirullah.
Ini adalah perbuatan yang sangat tercela. Padahal, dulu kita sangat
menyusahkannya. Harusnya semua itu diingat-ingat.
Tidak heran jika anak
yang durhaka, anak yang tidak tahu balas budi, hidupnya di dunia ini akan
diliputi penderitaan. Kita sering mendengar, betapa hukuman-hukuman Allah cash diberikan pada anak-anak yang
sering menzalimi orang tuanya. Oleh karena itu, marilah kita berusaha untuk
selalu mengenang kembali semua untaian perngorbanan orang tua.
Sungguh pengorbanan
orang tua kita adalah utang. Walau ditebus nyawa sekalipun rasa-rasanya tidak
akan terbayar. Allah swt., dalam surah al-Israa’ ayat 23 berfirman,
“Dan
Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan
hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika
salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia.”
Begitu santunnya Islam
mengajarkan penghormatan kepada orang tua. Bukan saja dari raut muka, bahkan
perkataan “ah!” saja sudah terlarang dalam Islam. Apalagi menghardik dan
bersikap keras atau kasar. Bahkan, kita dilarang untuk memaki ibu bapak orang
lain, sebab setiap kali kita memaki-makii orang tua orang lain, bisa jadi akan
mengundang orang itu untuk memamki orang tua kita. Dan, itu adalah kezaliman
bagi orang tua. Harusnya kata-kata yang mulia saja yang keluar dari lisan kita.
Beruntunglah bagi siapa
pun yang orang tuanya masih ada, karena jika orang tua sudah terbungkus kain
kafan, kita tidak bisa lagi mencium tangannya atau menatap wajahnya. Karena
itu, kita harus memiliki tekad yang sangat kuat untuk berbakti pada orang tua.
Minimal kita berhenti dari menyakiti hati orang tua hingga tidak ada luka yang
ditoreh di hatinya. Syukur kalau kita sudah bisa menyenangkannya dan diberkahi
manfaat besar bagi dunia dan juga akhiratnya.
Yang paling penting
dalam menghormati orang tua bukanlah hanya dengan memberinya harta. Namun, yang
paling dibutuhkan adalah akhlak dari anaknya. Apalah artinya anak kaya, anak
bergelar, anak berpangkat, tetapi tidak berakhlak kepada ibu bapaknya? Akhlak
inilah sebenarnya kekayaan termahal yang bisa membuat sang anak doanya diijabah
oleh Allah, sehingga bisa menyelamatkan dan memuliakan ibu-bapaknya. Betapa
yang dirindukan orang tua itu senyum manis yang tulus dari anaknya serta
ketawadhuan.
Oleh karena itu, jangan
beli orang tua dengan harta. Harta itu hanya secuplik. Apalah artinya kita ngasih uang, tapi uang itu dilemparkan
ke depan wajahnya? Mudah-mudahan, kita semua dapat benar-benar menyadari bahwa
orang tua itu tidak terbeli kecuali oleh kemuliaan akhlak.
Sosok orang tua memang
tidak selalu sesuai dengan harapan kita. Kita tidak bisa mengharapkan sosok ibu
atau bapak seideal seperti yang dicontohkan Rasulullah saw. dan istrinya. Akan
tetapi, justru kita harus mencari kelebihan-kelebihan mereka untuk kita
syukuri. Sedangkan, soal kekurangannya kita harus ada di barisan yang paling
depan untuk membantunya agar luput dan selamat dari kehinaan karena
kekurangan-kekurangan itu.
Bagaimanapun keadaan
orang tua kita, darah dagingnya melekat pada diri kita. Jika mereka belum saleh
dan salehah, kita yang harus mati-matian meminta kepada Allah supaya orang tua
kita mendapat hidayah. Kalau orang tua masih bergelimang dosa, kita yang harus
berjuang keras supaya diampuni oleh Allah. Kalau belum taat, kita yang harus
membuktikan bahwa diri kita sendiri adalah orang yang sedang berjuang keras ke
arah ketaatan itu.
Setiap orang berproses,
ada yang awalnya kurang ilmu, namun lambat laun ilmunya bertambah. Jadi, kita
harus sikapi kekurangan orang tua kita dengan kelapangan hati. Bagaimanapun
juga, tidak ada manusia yang sempurna. Oleh karena itu, mudah-mudahan tekad
kita semakin kuat untuk memuliakan orang tua. Amin.
Wallahu
a’lam.
(K.H.
Abdullah Gymnastiar || Meraih Bening Hati dengan Manajemen Qolbu : 70 - 73)
0 komentar:
Posting Komentar