Betapa indahnya karunia
Allah berupa lidah dan tenggorokan. Namun saat kita minum sesuatu, terkadang
menyebut Alhamdulillah pun sangat
kurang mutunya. Nasi yang masuk ke dalam mulut kita, jika tidak kita syukuri
maka akan menjadi amal dan akan hilang rasa nikmatnya. Dengan nikmat yang kita
terima, sudah selayaknya kita berterima kasih sebagai wujud rasa syukur kepada
Allah swt..
Firman Allah dalam
surah an-Nisaa’ ayat 147, “Mengapa Allah
akan menyiksamu jika kamu bersyukur dan beriman dan Allah Maha Mensyukuri lagi
Maha Mengetahui.” Begitupun dalam hadits, Rasulullah saw. bersabda, “Tidak bersyukur pada Allah siapa yang tidak
pandai bersyukur (berterima kasih) kepada sesame manusia.” (al-Hadits)
Banyak hal yang membuat
kita tenggelam dalam penderitaan disebabkan karena kita kurang terampil
mensyukuri nikmat Allah. Ada sebuah kisah menarik tentang tiga orang yang masuk
ke hutan belantara dengan menunggangi kuda yang lengkap dengan perbekalannya. Sementara
mereka tertidur lelap, ketiga kudanya kabur. Hal itu diketahui oleh seorang
raja yang bijaksana yang sedang berburu di hutan. Lalu sang raja memerintahkan
untuk mengirim tiga ekor kuda yang lengkap dengan perbekalannya. Saat mereka
tahu kuda mereka hilang dan telah ada gantinya, respons mereka pun
berbeda-beda.
Orang pertama merasa
senang dan bangga sekali karena kuda yang ada di hadapannya lebih berotot,
lebih tinggi, dan lebih banyak bekalnya disbanding kuda sebelumnya. Saking senangnya,
sampai-sampai ia lupa bertanya kuda ini milik siapa dan untuk siapa? Lain lagi
dengan orang kedua, dia juga merasa senang karena kuda yang ada di hadapannya
lebih bagus, tapi ia bertanya tentang pemilik kuda itu dan untuk siapa dia
diberikan. Kemudian oran itu pun tahu bahwa kuda tersebut milik raja yang
diberikan padanya. Ia merasa senang dan berterima kasih kepada sang raja.
Sedangkan orang ketiga
lain lagi, ia tahan perasaan senangnya karena merasa kuda itu bukan miliknya. Ia
pun bertanya-tanya tentang ihwal kuda tersebut. Akhirnya, dia tahu bahwa kuda
tersebut diberikan sebagai sarana transportasi yang dapat memudahkannya dekat
dengan raja. Dia senang bukan semata karena kudanya bagus. Tapi dia senang
karena kuda itu, dia juga memiliki sarana yang bisa membuatnya dekat dengan
raja. Dan tak ketinggalan, ia pun mengucap syukur.
Manakah di antara
ketiga orang tersebut yang paling bagus sikap responsnya? Tentu saja orang yang
ketiga, karena nikmat yang telah dia dapatkan membuatnya sanggup mensyukuri
karunia nikmat tersebut.
Pada umumnya, ketika
manusia mendapatkan kenikmatan berupa kedudukan ataupun harta, ia akan merasa
bangga dan pamer sana-sini. Ia tidak memahami bahwa semua itu hanya titipan
Allah, bukan miliknya. Tiap hari ia mencuci mobil, tapi untuk berwudhu saja ia
tidak sempat. Orang seperti itu masuk ke dalam golongan yang paling rendah. Sepanjang
hari dinaungi nikmat yang tiada terputus, tapi nilai kesyukurannya nol!
Ahli syukur yang sejati
adalah ketika ia mendapat harta, pangkat, kedudukan, ataupun gelar, ia hanya
berpikir bahwa semuanya adalah karunia Allah yang diberikan agar ia lebih dekat
kepada-Nya. Dan ia akan menggunakan karunia itu dengan benar agar berbuah
berkah di jalan Allah. Inilah tipe ahli syukur.
Selain syukur pada
Allah, kita juga harus syukur pada manusia. Tidak disebut seseorang itu sebagai
ahli syukur kecuali ia juga syukur kepada manusia. Hati kita yakin bahwa semua
yang kita dapatkan merupakan pemberian Allah melalui prosedur tertentu. Anak yang
tahu balas budi kepada orang tuanya, maka dia bisa disebut ahli syukur. Barangsiapa
yang sangat serius bersyukur, Allah akan menambah nikmat-Nya. Berarti anak yang
paling tahu balas budi pada orang tua adalah anak yang paling nikmat hidupnya,
karena sikapnya itu Allah akan selalu menambah nikmat-Nya.
Sampai sejauhmana kita
bersyukur. Kita seringkali tidak mengenang kebaikan seseorang, apalagi
menyebut-nyebut jasa baiknya. Padahal, syukur itu adalah menyebut jasa baik
orang lain. Contoh yang konkret ada di rumah dan keluarga kita. Tidak sedikit
istri yang melupakan kebaikan suami dan suami yang juga melupakan kebaikan istri.
Kadang-kadang yang dilihat hanya kekurangannya saja. Sebenarnya dengan
mengenang kebaikan orang, hal ini merupakan salah satu cara kita untuk
mensyukuri nikmat Allah.
Orang yang bersyukur
karena memiliki keturunan, maka ia mempunyai kewajiban untuk mendidik anak
keturunannya itu agar dekat dengan Allah. Sebab, tidak sedikit orang tua yang
tercoreng aib gara-gara anaknya sendiri. Sesungguhnya itu bukan salah
siapa-siapa, tapi kita harus sering melakukan instrospeksi diri. Bisa jadi
coreng aib itu muncul karena di masa-masa sebelumnya, orang tua tidak hati-hati
dalam mendidik anak. Instrospeksi diri tidak pernah ada ruginya.
Bagi mereka yang
memiliki profesi sebagai guru atau pendidik juga merupakan suatu keberuntungan.
Karena hidupnya telah menjadi jalan ilmu bagi orang lain. Bukankah salah satu
yang akan jadi cahaya di kubur adalah ilmu yang bermanfaat, selain amal jariah
dan anak-anak saleh? Kalau kita jadi guru, jadilah guru yang ikhlas, jangan
sampai kita mengharapkan sesuatu dari anak-anak. Sebaliknya, kita harus mampu
membekali mereka dengan ilmu untuk masa depannya. Itulah investasi kita di alam
kubur. Perkara rezeki itu masalah Allah. Inti menjadi seorang guru adalah mampu
menjadi contoh bukan sekadar bekerja mengajar saja. Jangan sampai pepatah “guru
kencing berdiri, murid kencing berlari” melekat pada diri kita. Itulah yang
paling penting dalam mensyukuri profesi ini, yaitu menjadi suri tauladan dan
selalu berjuang mendidik anak-anak agar lebih baik dari diri kita sendiri.
Memperlihatkan nikmat
merupakan bagian dari syukur. Misalnya acara syukuran, acara tersebut merupakan
salah satu cara kita untuk tahadduts
binni’mah ‘menyebut-nyebut nikmat Allah’. Tapi tetap saja kita harus
hati-hati agar terhindar dari niat untuk dapat pujian dari orang lain. Luruskan
niat karena kita yakin semua nikmat yang kita terima adalah dari Allah dan
hanya Allahlah yang patut mendapat pujian. Kalaupun kita mampu mengadakan acara
syukuran maka jangan sampai pilih-pilih tamu undangan. Menurut Rasulullah saw.,
undangan yang tidak berkah adalah undangan yang hanya memilih orang kaya saja
dan mengabaikan fakir miskin. Alangkah baiknya kita membagi kenikmatan dengan
orang-orang yang berhak menerima dan membutuhkannya agar nikmat itu berkah.
Kita ini seringkali
terbalik. Kita buat pesta-pesta syukuran berbiaya tinggi. Orang kaya tertentu,
sekali buat acara syukuran, bisa menelan biaya puluhan juta, ratusan juta,
bahkan ada yang dalam hitungan miliaran. Masih untung jika pesta itu dihadiri
oleh ratusan atau ribuan fakir miskin, anak yatim, kakek nenek jompo, dan
lain-lain. Tapi kebanyakan yang dating adalah koleganya sendiri yang sudah pada
makmur. Datang dengan mobil-mobil mewah, dengan pakaian dan perhiasan paling
eksklusif. Kalau ada satu dua orang fakir hadir di tempat itu, kelihatan
seperti orang asing yang penuh derita. Orang-orang makmur itu dalam pesta hanya
makan sedikit. Banyak makanan di piring yang dibuang-buang. Padahal di mata
fakir miskin, makanan itu sangat dirindukan. Inilah tanda ketika syukuran kita
hilang berkahnya.
Bagi orang yang tidak
bisa dan tidak mau bersyukur, Allah menjanjikan akan mengubah nikmat yang
mereka terima menjadi azab yang pedih. Orang yang tidak pernah bersyukur
termasuk pada golongan orang-orang yang kufur nikmat. Sudah jelas bahwa Allah
akan menutup pintu rezeki bagi orang-orang yang kufur nikmat. Jika pintu rezeki
sudah ditutup, mereka tidak akan pernah merasakan ketentraman dan kenikmatan
hidup di dunia ini maupun kelak di akhirat.
Wallahu
a’lam.
(K.H. Abdullah Gymnastiar || Meraih
Bening Hati dengan Manajemen Qolbu : 34 – 38)
0 komentar:
Posting Komentar