Banyak film yang
bercerita tentang aksi balas dendam seseorang akibat pembantaian keji yang
dilakukan penjahat terhadap anak, istri, keluarga, atau sahabatnya. Dalam
cerita seperti itu, biasanya orang yang melakukan balasa dendam tersebut
menjadi satu-satunya orang yang selamat dari pembantaian. Selanjutnya dapat
ditebak, pada ujung cerita penonton biasanya akan disuguhi adegan balas dendam
yang sangat keras dan berdarah-darah.
Dendam merupakan buah
dari hati yang terluka, tersakiti, teraniaya, atau yang merasa terambil haknya.
Wujud dendam yang paling konkret adalah kemarahan. Seseorang meluapkan
amarahnya karena tidak suka melihat orang yang dia benci mendapat kesenangan.
Dia lebih suka melihat orang itu sengsara, melebihi dirinya. Makin membara
dendam seseorang, dia akan sekuat tenaga mencari jalan untuk mencemarkan,
mencoreng, bahkan kalau perlu mencelakakan “musuh” sampai binasa.
Berbagai alas an memang
tak jarang membuat seseorang tega melakukan balas dendam dengan keji. Ada yang
balas dendam karena merasa telah ditipu atau karena takut disaingi. Perasaan
iri, dengki, dan disisihkan juga dapat membuat seseorang tiba-tiba ringan
tangan dan tidak punya belas kasihan. Hatinya mendadak beku dan sedikit pun
tidak kenal ampun. Yang terbesit dalam benaknya hanya satu : balas dendam!
Seperti itulah ketika
hati seseorang diliputi rasa dendam yang membara. Ia belum merasa puas kalau
dendamnya belum tumpah terbalaskan. Tidur tak terasa nyenyak, setiap hari
hatinya diliputi perasaan gelisah. Di pelupuk matanya selalu terbayang seorang
“musuh” yang sedang menari-nari menantang dirinya. Itulah keadaan diri seorang
pendendam. Lalu bagaimana sebenarnya kedudukan orang pendendam di sisi Allah?
Mungkin sudah merupakan
sifat lumrah manusia, manakala hatinya disakiti orang lain, dia akan menyimpan
rasa sakit hati yang bisa berujung pada rasa dendam. Akan tetapi, bukan berarti
kita harus dendam setiap kali disakiti atau didzalimi. Malah sebaliknya, jika
didzalimi maka doakan orang-orang yang mendzalimi itu agar bertobat dan menjadi
orang saleh. Apalagi doa orang yang teraniaya itu mustajab, sehingga ketika kita didzalimi, saat itu terbuka peluang
doa-doa kita akan dikabulkan. Jika kita meminta sesuatu, Allah akan
mengabulkan. Nah, mengapa kita tidak
minta agar orang-orang yang dzalim itu, Allah ubah menjadi saleh?
Memang pahit rasanya,
kita mendoakan kebaikan untuk orang-orang yang telah menyakiti diri kita. Tapi
akan lebih pahit lagi jika orang itu tidak berubah lebih baik. Bisa jadi dia
akan lebih memperpanjang lagi daftar kedzalimannya. Di sinilah tampaknya kita harus mulai belajar menerima sikap buruk
orang lain lalu membalasnya dengan balasan sikap yang terbaik. Hal ini tidak
merugikan, justru akan menjadi sarana untuk menuju kemuliaan.
Ada sebuah formula
kemuliaan yang telah dituntunkan oleh Allah “Idfa’
billatii hiya ahsan.” (Balaslah sikap buruk orang lain dengan sikap yang
lebih baik [ahsan]). Dan ternyata,
sikap ahsan itu dapat mengubah
permusuhan menjadi persahabatan. Bagaimana orang lain akan menerima kita, jika
dia hanya disuguhi kemarahan dan kebencian kita? Kita jangan memimpikan orang
lain akan berbuat baik terhadap kita. Namun justru, kitalah yang harus
memulainya.
Untuk mencapai derajat ahsan memang tidak mudah. Tapi, kita
bisa belajar sejak sekarang dengan cara selalu bersikap baik, tanpa menghitung
untung-rugi dari setiap kebaikan yang kita perbuat. Syaratnya, kita harus
mempunyai kesabaran dan tetap mengharap karunia dari Allah swt.. Biarlah Allah
yang akan membalas segala amalan baik yang telah kita lakukan. Adapun tentang
amalan buruk orang lain, marilah semua itu kita sikapi dengan hati yang bening
dan lapang.
Allah memelihara
Rasulullah saw. dari sifat pendendam.
Betapa pun beliau telah dihina, dicaci, bahkan berulang kali hendak dimusnahkan
jiwanya. Tapi jiwa Rasul adalah jiwa yang lapang. Atas semua itu beliau
memaafkan, melupakan, juga berdoa baik. Rasa maaf beliau begitu melimpah. Tidak
sedikit orang menyakiti beliau, namun melihat keluhuran akhlaknya, hati-hati
mereka melunak lalu memeluk Islam.
Sadarilah bahwa dendam
adalah sifat yang amat buruk. Selain bisa menghancurkan kebahagiaan, pikiran,
dan akhlak, dendam juga bisa menjerumuskan orang ke dalam kerugian
dunia-akhirat. Oleh karena itu, berangsiapa yang dibelit rasa dendam, maka
segeralah mengubah rasa dendam tersebut dengan kebaikan. Kita tidak bisa
memaksa orang lain bersikap baik kepada kita. Tapi, kita bisa memaksa diri kita
untuk berbuat baik pada orang lain.
Dalam Al-Quran surah
al-Hujuraah ayat 11, Allah swt. berfirman, “Bahwasanya
orang-orang yang beriman itu bersaudara.” Jika kita menganggap orang lain
adalah saudara, maka segala perselisihan dan pertikaian akan diselesaikan
secara kekeluargaan layaknya perselisihan antara adik dan kakak. Karena suatu
sebab, seorang kakak bisa saja memusuhi adiknya, begitu pun sebaliknya. Akan
tetapi, pertengkaran mereka biasanya tidak berlangsung lama. Jika tidak
diselesaikan sendiri, orang tua akan berperan mendamaikan. Mungkin saja mereka
akan disuruh pacantel (Sunda : saling
mengaitkan jari kelingking sebagai tanda perdamaian). Solusi ini tampaknya
sederhana, tapi realistis.
Permasalahan kadang
berubah menjadi rumit, manakala sifat egois lebih menonjol mengalahkan hubungan
darah dan hati (persaudaraan). Apalagi jika tidak ada orang tua yang dapat
mendamaikan. Untuk itu, kita butuh kunci-kunci untuk membuka pintu yang
menghalang terciptanya persaudaraan antarsesama.
Kunci pertama adalah latihan. Makin banyak kita merasa
bersaudara, makin ringan beban yang harus dipikul. “Seribu saudara akan terasa kurang, namun satu mush terasa sangat
banyak.” Sayangnya, kebanyakan kita lebih mudah menciptakan permusuhan
disbanding menjalin persaudaraan. Baru tersenggol
atau berbeda pendapat sedikit saja langsung tersinggung. Orang tua pun sampai tega
menganggap anaknya sendiri sebagai musuh. Begitu pun dengan istri, orang tua,
mertua, dan lain-lain. Lalu kenapa kita akan merasakan bahagia di dunia, jika
hati selalu diliputi perasaan dendam?
Walau kita berbeda
secara fisik, tapi tetap saja nenek-buyut kita semua adalah Adam a.s. dan Bunda
Hawa. Artinya, factor tempat mungkin memisahkan kita, tapi secara hakiki kita
saling bersaudara sebab kita adalah sama-sama keturunan Adam a.s.. Tidak ada
salahnya kalau kita berlatih menjalin persaudaraan dari sekarang, toh perbedaan itu indah.
Kunci kedua, jangan mempersulit diri. Pikiran kita
jangan digunakan untuk memperumit masalah, tapi gunakan untuk mencari solusi
masalah. Pernah ada yang bercerita tentang seseorang yang membeli tiga kilo
jeruk. Kemudian di mengetes rasa jeruk itu satu per satu, ternyata rasanya asem semua. Maka dia pun protes pada
penjualnya. Dia merasa dirugikan karena tiga kilo jeruk yang dibeli asem semua. Tapi sesudah itu, dia baru
tahu bahwa penjual jeruk itu jauh lebih rugi. Tiga kuintal jeruk dagangannya asem juga. Seharusnya, orang itu merasa
bahagia karena telah ikut meringankan beban penjual jeruk dengan membeli jeruk
darinya. Walau hanya tiga kilo, setidaknya cukup mengurangi kerugian.
Kunci ketiga, adalah
memiliki semangat berbuat demi
kemaslahatan bersama. Jangan sampai kita untung sendiri, sedang orang lain
merugi. Makin banyak orang yang merasa senang, makin tenteram hidup kita. Makin
banyak orang yang tersakiti, justru mereka akan mencari-cari kesempatan untuk
mencelakakan kita.
Untuk menghilangkan
rasa dendam yang membara dalam hati, kita harus melatih hati kita agar tidak
terlalu sensitif. Sekejam apa pun sikap orang lain, kita siap menghadapinya
sebab hati kita telah terlatih. Hati yang terlatih dan kuat akan terpelihara
dari dendam kesumat. Kalau kita disakiti seseorang, jangan melihatnya sebagai
orang yang telah menyakiti kita, tapi lihatlah dia sebagai sarana ujian dan
lading amal dari Allah. Kalau kita selalu melihat orangnya, maka hati akan
sakit.
Kalau kita dikritik,
dibenci, atau dikoreksi orang, maka kita harus evaluasi diri. Kita tidak akan
pernah rugi dengan langkah ini. Kita harus meneliti kalau-kalau perilaku kita
selama ini cukup membuat orang lain kesal. Jangan pernah merasa sombong dengan
kesalehan diri sendiri. Selalulah merasa kurang dan kurang dalam berbuat
kebaikan.
Langkah berikutnya,
kita harus selalu memperbaiki diri. Jawaban kita atas segala permasalahan
adalah akhlak yang baik. Biarlah orang akan mencemooh atau menghina. Pada
akhirnya, orang akan melihat siapa yang buruk dan siapa yang baik. Kalau kita
berakhlak luhur, Allah akan memuliakan kita. Jika Allah telah menganugerahkan
kemuliaan, penghinaan orang sekejam apa pun tidak aka nada artinya.
Maka sekali lagi, “Idfa’ billatii hiya ahsan!” Balaslah
sikap buruk orang lain dengan sikap yang lebih baik. Apalagi jika orang lain
telah bersusah payah berbuat baik pada kita, maka tiada pilihan lain selain
membalas semua itu dengan kebaikan yang lebih tinggi. Semoga Allah menolong
kita menjadi pribadi-pribadi yang ihsan. Amin.
Wallahu
a’lam.
(K.H.
Abdullah Gymnastiar || Meraih Bening Hati dengan Manajemen Qolbu : 120 - 125)
1 komentar:
Lucky Club Casino site - Lucky Club Live
Lucky Club 카지노사이트luckclub online casino review. Lucky Club is one of the most successful and reliable online casino software providers. It was established in 2020 and has Rating: 3 · Review by Lucky Club VIP
Posting Komentar